Suaraindo.id–Penembakan yang dilakukan pelajar berusia 15 tahun di Oxford High School, Oakland County, dekat Detroit, negara bagian Michigan, AS, baru-baru ini mengangkat kembali topik kekerasan senjata oleh remaja dan kemungkinan kaitannya dengan perundungan atau bullying. Meski bukan menjadi alasan pembenar tindak kejahatan, bullying bisa memicu tindakan-tindakan mengerikan.
Pada laporan tahunannya yang ke-22 mengenai Indikator Kejahatan dan Keamanan Sekolah, Biro Statistik Kehakiman (BJS) dan Pusat Statistik Pendidikan Nasional AS (NCES), menyebut siswa AS yang berusia 12-18 tahun mengatakan bullying menimbulkan berbagai dampak negatif pada aspek kehidupan sehari-hari mereka.
Laporan yang didasarkan pada riset gabungan mengenai aspek-aspek kejahatan dan keamanan di sekolah-sekolah AS tersebut juga mendapati bullying di AS terkait dengan: penampilan fisik, ras, gender, disabilitas, etnis, agama dan orientasi seksual.
Degung Santikarma memiliki seorang putri, murid SMU di Bluemont, Virginia. Ia mengakui karasteristik bullying di SMU yang dialami putrinya terkait ras campuran Asia dan kulit putih.
“Menganggap orang bisa cantik karena dia perempuan karena dia ras campuran, itu juga bentuk lain dari bullying, objectification,” jelasnya.
Santikarma mengamati faktor ras sering menjadi latar belakang perang ideologi dan politik yang diawali di SMU Amerika.
“Yang menarik menurut saya terutama SMA dan SMP, munculnya critical race theory atau teori kritis mengenai ras, jadi ajang pertempuran politik , dulu kita tidak tahu di sini di SMU dimulainya, akar pertempuran politik ideologi, mungkin dalam bahasa Inggrisnya disebut “Culture War”, perang budaya,” imbuh Degung..
Teori kritis mengenai ras adalah konsep akademis yang berusia lebih dari empat dekade. Ide intinya adalah ras merupakan konstruksi sosial, dan rasisme bukan hanya produk dari bias atau prasangka individu, tetapi juga sesuatu yang tertanam dalam sistem dan kebijakan hukum.
Teori ini digunakan untuk berupaya memahami bagaimana rasisme di AS membentuk kebijakan politik, menjadi pemecah yang membenturkan orang kulit putih dengan orang kulit berwarna lainnya. Perpecahan masyarakat AS ini kemudian berkembang pada isu-isu sosial lainnya termasuk mengenai kepemilikan senjata api, distrik pemilu, dan materi pendidikan.