Puasa Beruang

  • Bagikan

Oleh : Eka Hendry Ar*

SELAIN manusia, banyak juga makhluk Tuhan lainnya yang juga berpuasa, seperti hewan. Para ahli zoologi menyatakan ada beberapa hewan yang berpuasa, diantaranya adalah Beruang Cokelat dari Alaska.  Beruang mengalami masa hibernasi yaitu tidur panjang untuk menghemat energi , terutama pada musim dingin, dimana ketersedian makanan  terbatas.  Konon katanya, Beruang Alaska bisa tidur sampai enam bulan, bahkan lebih.   Periode tidur panjang ini secara biologis, membuat metabolisme tubuhnya turun drastis.

Selama ia mengalami masa hibernasi, otomatis ia berpuasa, tidak makan.  Fenomena kekuasaan Allah yang maha Adil, Dia menciptakan makhluknya dan komposisi biologis yang selaras dengan kondisi dan alam dimana makhluk tersebut hidup.   Diantara tujuan Allah menciptakan hibernasi pada hewan adalah untuk kepentingan dan keselamatan hewan tersebut.  Seperti, agar hewan tersebut tidak direpotkan mencari makanan, atau bermigrasi ke tempat lain, yang lebih hangat misalnya.  Kemudian dengan hibernasi, hewan dapat menghemat energi dengan tidak menggunakan metabolisme, seperti beberapa organ tubuh akan turun ke tingkat yang lebih rendah, seperti suhu tubuh, detak jantung dan laju pernapasan.

Prilaku hibernasi beruang menginggat penulis tentang tidur panjang 7 pemuda Ashabul Kahfi. Mereka dihibernasi oleh Allah selama 309 tahun di dalam sebuah gua agar diselamatkan keimanan mereka dari orang-orang yang ingkar kepada Tuhan.  Berangkat dari kedua contoh hibernasi di atas,  penulis sampai kepada kesimpulan metaforis pada prilaku manusia kini.

Selain cerita Ashabul kahfi di atas, umumnya manusia tidak memiliki siklus hibernasi sepanjang Beruang.  Siklus hibernasi pada Beruang juga diikuti dengan puasa panjang selama masa hibernasinya.

Momentum Ramadhan ini kiranya analogi hibernasi dan puasa pada Beruang relevan dengan prilaku manusia saat puasa.  Ada yang berdalih bahwa tidur adalah ibadah, karena Nabi mengatakan demikian.  Maka, sepanjang waktu, selama siang hari puasa Ramadhan digunakan untuk tidur.  Masih mendingan tidur, bangun sholat, tidur lagi.  Tapi biasanya ada yang “tidur panjang” dari pagi sampai menjelang berbuka puasa.

Tentu saja, Nabi tidak bermaksud demikian, tidurlah sebatas yang wajar. Analogi ini dibandingkan ketimbang melakukan perbuatan yang tidak berguna dan dapat mengurangi kualitas nilai puasa. Maka dikatakan tidur saat puasa adalah ibadah.  Sementara hakekat puasa diwajibkan agar kita semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak amal ibadah, bukan dengan memperpanjang tidur.

Termasuk di malam hari, orang-orang beriman seharusnya menggurangi waktu tidurnya, karena harus menjalankan ibadah sholat tarawih, tadarrus al Quran, tahajud,  makan sahur dan sholat subuh.  Bahkan, pada malam-malam 10 hari terakhir, dianjurkan untuk i’tikaf di Masjid.  Praktisnya, selama bulan suci Ramadhan, waktu kita tidur mestinya berkurang.

Jika hibernasi pada beruang untuk membuat energinya bertahan dalam masa-masa sulit musim dingin, maka hendaknya manusia menghibernasi sifat-sifat buruk dalam dirinya. Dengan cara menggurangi masa tidur fisiknya dengan memperbanyak amal ibadah agar energi kebaikannya dapat membentengi diri  pada sebelas bulan berikutnya.

Dengan segala upaya manusia menahan segala dosa dan keburukan, diharapkan agar watak-watak buruk dalam dirinya mengalami hibernasi (tidur panjang) hingga saatnya kita kembali menghadap Allah SWT.

Oleh karenanya, jika kita tidak mengoptimalkan amal ibadah dan lebih banyak menidurkan fisik  selama Ramadhan, tapi tidak menidurkan sifat-sifat buruk dalam diri kita, maka boleh jadi berkuranglah kualitas keutamaan puasa kita.  Istilah menidurkan barangkali lebih tepat ketimbang mematikan.  Menidurkan sifat buruk, lebih realistik dari mematikan sama sekali sifat buruk.  Karena manusia adalah makhluk yang lemah, tempat segala salah dan lupa serta suka mengeluh.

Agar kita mendapat energi positif dari puasa Ramadhan, maka hendaknya kita menggurangi waktu tidur fisik kita, kemudian memperpanjang hibernasi atau tidur panjang sifat-sifat buruk seperti tamak, sombong, pelit, iri dan dengki agar kita mencapai derajat taqwa.  Ketika sifat-sifat buruk ini tidur panjang,  maka sifat-sifat baik manusia yang selama ini terhijab, akan aktual membentuk kepribadian mukmin.  Jika tidak demikian, maka boleh jadi puasa kita tak ubah seperti puasa beruang, yang hanya menghibernasi fisiknya semata. Wa Allah a’alam.

*Penulis adalah Dosen IAIN Pontianak / Ketua Bidang Keilmuan, Riset dan PT Kahmi Wilayah Kalbar

Penulis: Tim LiputanEditor: Redaksi
  • Bagikan