Hakikat Pidana Mati dan Hak Asasi Manusia

  • Bagikan

Oleh: Pradikta Andi Alvat

CPNS Analis Perkara Peradilan (Proyeksi Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

Dalam hukum pidana materil, tiga hal pokok yang menjadi pembahasan adalah perihal tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi pidana. Khusus terkait sanksi pidana, ini menjadi ‘taring’ dalam penegakan hukum pidana, sebagaimana preposisi “hukum tanpa sanksi ibarat harimau tak bertaring”. Sanksi adalah mahkota dalam penegakan hukum. Terlebih sanksi pidana dikenal sebagai sanksi istimewa diantara sanksi hukum lainnya.

Berdasarkan Pasal 10 KUHP, sanksi pidana sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yakni sanksi pokok dan sanksi tambahan. Sanksi pokok terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Selain itu, dalam aturan pidana khusus, terdapat juga beberapa tambahan sanksi pidana lainnya, misalnya sanksi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi.

Secara teoritis, tujuan dari sanksi pidana dapat dilihat dalam empat kerangka fungsional. Pertama, reformation. Sanksi pidana bertujuan untuk memperbaiki seorang pelaku tindak pidana agar ia menyadari kesalahannya dan dapat berkembang menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya. Kedua, restraint. Mengasingkan pelaku tindak pidana dari masyarakat agar tumbuh stabilitas sosial.

Ketiga, retribution. Membalas perbuatan pelaku setimpal dengan perbuatan jahat yang dia lakukan. Keempat, detterence. Sebagai prevensi khusus, yakni mencegah pelaku melakukan perbuatan lagi setelah bebas dan sebagai prevensi umum, untuk mencegah masyarakat di luar sana agar tidak meniru melakukan perbuatan pidana tersebut. Hakikat sanksi sendiri pada dasarnya adalah sebagai sarana untuk menegakkan keadilan dan kedua untuk mencegah perbuatan terjadinya perbuatan yang dilarang.

Dalam dinamika hukum pidana moderen, sanksi pidana yang pada awalnya bersifat retributif (pembalasan), kemudian resosialisasi (pembinaan), dan kini berkembang menjadi restoratif (pemulihan kembali) sebagaimana tercermin dalam beberapa peraturan internal institusi penegak hukum yang mengarusutamakan pendekatan restoratif maupun dalam ius constituendum hukum pidana kita (RUU KUHP) yang mencantumkan beberapa sanksi pidana yang sifatnya restoratif.

Berdasarkan dinamika tersebut, kemudian beberapa pihak mempertanyakan urgensi masih dicantumkannya sanksi pidana mati dalam tata hukum pidana kita (ius constitutum) maupun dalam ius constituendum (RUU KUHP) karena dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan peradaban dan HAM.

Dalam ius constitutum (KUHP), pidana mati diletakkan sebagai pidana pokok (main sanction) dalam arti sebagai pilihan pidana yang harus dijatuhkan terkait tindak pidana tertentu, sedangkan dalam ius constituendum (RUU KUHP), pidana mati dikonstruksikan sebagai sanksi khusus (special sanction) yang hanya dapat dijatuhkan terhadap kondisi tertentu dan dimungkinkan dilakukannya modifikasi pidana.

Dalam hukum pidana positif kita saat ini, setidaknya terdapat 6 perbuatan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, yakni: pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang mengakibatkan luka berat atau meninggal dunia (Pasal 365 ayat 4 KUHP) yang merupakan pemberatan pidana, perbuatan makar (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3, 140 ayat 4 KUHP), tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi (pemberatan pidana), dan tindak pidana pelanggaran HAM berat.

Dalam perspektif HAM, sanksi pidana mati menurut hemat Penulis bukanlah bentuk dari pelanggaran HAM melainkan pembatasan HAM yang konstitusional. Menurut Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI 1945, pembatasan HAM harus memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil bahwa pembatasan HAM harus diatur dalam UU, tidak boleh peraturan perundang-undangan dibawah UU. Syarat materil bahwa pembatasan HAM memiliki dua tujuan yakni untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan berikutnya untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Kemudian perihal urgensi eksistensi pidana mati, menurut penulis harus dilihat dalam kerangka hakikat fungsi dari sanksi itu sendiri. Hakikat sanksi memiliki dua tujuan: sarana menegakkan keadilan dan sarana mencegah terjadinya perbuatan yang tidak diinginkan. Sanksi pidana harus memiliki proporsionalitas dengan proporsi sifat jahat dan kalkulasi dampak buruk suatu tindak pidana. Berdasarkan prinsip proporsionalitas tersebut, maka logikanya, pidana mati hanya layak dijatuhkan terhadap perbuatan yang luar biasa (kejam, melampaui moral kemanusiaan, tidak dapat dipulihkan, merusak masyarakat secara luas, merusak peradaban dan generasi bangsa) demi tegakknya keadilan dan preventif agar tidak terjadi perbuatan tersebut.

Achmad Ali dalam buku Menguak Realitas Hukum (2008) mengatakan bahwa pidana mati didasarkan pada keyakinan moral bahwa kejahatan tersebut sangat berat dan melukai perasaan moral keadilan masyarakat. Maka dari itu, menurut hemat Penulis, eksistensi pidana mati harus tetap dipertahankan dengan prinsip terbatas untuk tindak pidana tertentu, dalam kondisi tertentu, serta dikonstruksikan sebagai sanksi khusus. Karena ada beberapa karakteristik tindak pidana yang memiliki dampak merusak yang luar biasa, melampaui batas moral kemanusiaan, dan tidak bisa pulihkan, yang mana tidak dapat ditegakkan keadilan dan kemanfaatan tanpa penjatuhan pidana mati.

Penulis: Tim LiputanEditor: Redaksi
  • Bagikan