Pegiat Antikorupsi Tegaskan “Operasi Tangkap Tangan” Tak Perburuk Citra Indonesia

  • Bagikan
Meteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Baru-baru ini Luhut melontarkan pernyataan bahwa operasi tangkap tangan KPK dapat memperburuk citra Indonesia. (Foto: Instagram/luhut.pandjaitan)

Suaraindo.id – Para pegiat antikorupsi menilai operasi tangkap tangan tidak bisa disebut sebagai upaya pencegahan. Mereka juga menilai operasi tangkap tangan tidak membuat citra Indonesia menjadi buruk.

Pernyataan yang dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa operasi tangkap tangan atau OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak efektif dan justru membuat citra buruk bagi Indonesia, menuai kritik tajam.

Berbicara dalam sebuah acara KPK di Jakarta pada Selasa (20/12), Luhut, yang dikenal blak-blakan, meminta KPK tidak kerap melakukan OTT dan menilai langkah digitalisasi adalah salah satu upaya mencegah korupsi.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman menilai pernyataan Luhut itu tidak tepat dan kontra produktif dalam pemberantasan korupsi. OTT, lanjutnya, bukan merupakan opsi tetapi keharusan jika telah terjadi tindak pidana. OTT merupakan kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk menegakan hukum dan keadilan sehingga bukan lagi memikirkan keuntungan tetapi memang sebuah keharusan.

Menurut Zaenur, operasi tangkap tangan juga punya tujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan juga pihak lain yang akan melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, tambahnya, OTT juga untuk mengembalikan kerugian keuangan negara apabila korupsi yang dilakukan mengakibatkan kerugian keuangan negara. OTT, ujarnya, tidak bisa dilawankan dengan pencegahan.

Lebih jauh ia menilai upaya negara melakukan upaya pencegahan korupsi dengan memperluas digitalisasi dan perbaikan sistem sudah baik, tetapi masih ada loophole yang harus ditutup.

“Tetapi pada kenyataannya, itu semua sudah dilakukan juga oleh pemerintah tetapi masih juga terjadi tindak pidana. Sudah ada perbaikan sistem, digitalisasi, contohnya pengadaan barang dan jasa. Itu sudah digitalisasi tetapi masih terus terjadi suap. Oleh karena itu jika perbaikan sistem sudah dilakukan, digitalisasi dilakukan, program-program pencegahan dilakukan masih terjadi tindak pidana, mau tidak mau satu-satunya langkah harus dilakukan penindakan. Dan itu bukan opsi tetapi keharusan,” ungkap Zaenur kepada VOA.

Ia melihat pernyataan Luhut itu mengecilkan kontribusi upaya penindakan dalam pemberantasan korupsi. Seaakan-akan pemberantasan korupsi hanya bisa dilakukan dengan baik jika dilakukan melalui upaya pencegahan, padahal pencegahan dan penindakan merupakan hal tidak bisa dipisahkan, tegasnya.

ICW: Pernyataan Luhut Terkesan Mengintervensi Proses Hukum

Diwawancarai secara terpisah, Agus Sunaryanto, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pernyataan Menko Marves agak mengkhawatirkan karena terkesan mengintervensi dari proses hukum yang sedang berjalan.

Pernyataan bahwa OTT merusak citra negara, menurut Agus, terlalu berlebihan karena banyak kasus yang ditangani KPK tidak melalui OTT. Menurutnya OTT yang dilakukan hanya sekitar 20-30 persen.

“Jujur agak khawatir dengan apa yang disampaikan oleh Pak Luhut itu karena dengan kondisi KPK yang sekarang, dengan para pimpinan sudah beberapa kali diantaranya sudah dilaporkan secara etik ke dewan pengawas bahkan terbukti. Ini jadi khawatir mentalitasnya. Jangan-jangan kemudian ketika diingatkan seperti itu langsung patuh,”ujar Agus.

Agus mengatakan indeks persepsi korupsi yang rendah di Indonesia tidak disebabkan oleh operasi tangkap tangan KPK. Penurunan itu terjadi karena telah terjadi pelemahan yang luar biasa terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, salah satunya terhadap KPK.

Menurut Indeks Persepsi Korupsi yang dibuat Transparency Internasional, Indonesia mencapai skor tertinggi yakni 40 pada 2019. Akan tetapi, pada akhir tahun itu, DPR mengesahkan revisi Undang-undang KPK. Lantas pada 2020, skor indeks persepsi korupsi Indonesia turun menjadi 37. Kemudian pada 2021, skor indeks persepsi korupsi Indonesia naik satu tingkat menjadi 38.

Pemerintah Diminta Dorong Pencegahan Korupsi Yang Lebih Konkret

Peneliti Tranparency Internasional Indonesia Sahel Alhabsyi mengatakan jika ingin meningkatkan citra Indonesia, seharusnya pemerintah mendorong narasi pencegahan yang lebih konkret seperti mendorong lahirnya Undang-undang perampasan aset, Undang-undang pembatasan transaksi uang kartal dan lain-lain.

Tapi sayang, kata Sahel, yang terjadi adalah sebaliknya di mana politik hukum pemerintah justru selalu mengarah padaa pelemahan pemberantasan korupsi mulai dari revisi UU KPK sampai dengan karting ancaman pidana atas delik korupsi di KUHP baru. Yang seperti inilah tambahnya yang memberatkan skor IPK Indonesia bukan OTT oleh penegak hukum.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan tidak ada yang keliru dengan pernyataan Menko Marves. Dia setuju bahwa semua lini harus menggunakan sistem digital ke depan sehingga praktik korupsi bisa diberantas. [fw/em]

  • Bagikan