VOA — Banyak orang Indonesia yang menjabat sebagai profesor dan peneliti dengan status pegawai tetap di berbagai universitas dan perguruan tinggi di negara-negara maju. Di Amerika utara saja, jumlah itu mencapai sekitar 100 profesor, menurut informasi dari Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional Kawasan Amerika Serikat dan Kanada.
Suaraindo.id– VOA berbicara dengan tiga di antara mereka tentang kisah sukses mereka di AS serta sumbangsih mereka pada pendidikan di Indonesia.
Kepada VOA, ketiga guru besar diaspora Indonesia berbagi kisah tentang perjalanan mereka hingga menjadi akademisi kelas dunia. Dari pembicaraan dengan mereka, bisa disimpulkan bahwa ada kesamaan ciri dan sifat yang dimiliki hingga sampai pada posisi saat ini. Bagi mereka, kegigihan, ketahanan, ketekunan, kemampuan beradaptasi, komitmen pada keunggulan akademis, berikut tekad dan pola pikir yang tepat merupakan modal untuk meraih kesuksesan di kancah akademis global.
Mereka adalah Teruna Siahaan, PhD, Aya and Takeru Higuchi Distinguished Professor dan Ketua Jurusan Kimia Farmasi di University of Kansas, di Lawrence, Kansas; Siti Kusujiarti, PhD, Profesor dan Ketua Jurusan Studi Sosial dan Kebudayaan di Warren Wilson College di Asheville, North Carolina; dan Herry Utomo, PhD, Profesor dan F. Avalon Daggett Endowed Professor di Louisiana State University di Baton Rouge, Louisiana.
Distinguished professor dan endowed professor adalah gelar prestisius dan tertinggi sebagai pengakuan atas prestasi dan pencapaian seorang akademisi di perguruan tinggi AS.
Perjalanan Teruna Siahaan: Dari Medan ke Kansas
Lahir di Medan, Sumatra Utara, perjalanan Prof Teruna Siahaan untuk menjadi akademisi terkemuka di Amerika Serikat ditandai oleh kegigihan, kemampuan beradaptasi, dan komitmen pada keunggulan. Dia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Methodis, dan pendidikan menengahnya di SMP dan SMA St. Thomas, semuanya di Medan. Tahun-tahun formatif ini meletakkan dasar bagi minatnya dalam bidang kimia, yang kemudian ditekuninya ketika melanjutkan studi perguruan tinggi di Universitas Indonesia (UI) di Jakarta.
Teruna mengatakan, pada 1981 selama masa kuliahnya di UI, momen penting terjadi pada dirinya. Ketika itu dia bertemu dan diwawancarai oleh Prof George Wilson dari Universitas Arizona (U of A) yang mengunjungi Universitas Indonesia.
Bagaikan pepatah “pucuk dicinta ulam tiba,” Prof Wilson ternyata terkesan oleh potensi Teruna dan kemudian merekrutnya sebagai calon mahasiswa pascasarjana, sekaligus menjadi asisten dosen di Jurusan Kimia U of A, mulai musim gugur 1982. Kesempatan itu menandai awal karier akademisnya di Amerika Serikat. Dia menyelesaikan gelar PhD bidang kimia dalam waktu empat tahun, sebuah prestasi mengesankan yang menunjukkan dedikasi dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan tuntutan pendidikan tinggi Amerika yang sangat ketat.
Namun, perjalanan Teruna bukannya tanpa tantangan. Sebagai mahasiswa internasional dan kemudian sebagai profesional, ia menghadapi skeptisisme karena latar belakangnya yang bukan orang Amerika. Ia mengenang kesulitan mendapatkan panggilan wawancara untuk posisi akademis pada akhir 1980-an, ketika perguruan tinggi di AS masih kurang terbuka untuk merekrut kandidat dari luar negeri.
“Tantangan besar pertama adalah persepsi saintis-saintis bahwa, karena saya bukan kelahiran Amerika, kemungkinan besar kita tidak bisa berkomunikasi oral (lisan) dan written (tertulis) dengan baik,” katanya.
Tantangan besar lainnya adalah beradaptasi dengan budaya secara umum maupun budaya pembelajaran di kampus. “Tantangan besar sewaktu menjadi mahasiswa adalah bagaimana mengadaptasi kultur di AS dan kecepatan kuliah-kuliah dan tuntutan kerja keras waktu kita sebagai graduate student. Saya butuh enam bulan untuk beradaptasi dengan kecepatan proses belajar dan riset di AS,” ujarnya.
Teruna juga mengenang kesulitan mendapatkan wawancara untuk posisi akademis pada akhir 1980-an, ketika dia telah bergelar PhD dan menyelesaikan program pascadoktoral di University of California Santa Barbara, dan sempat bekerja di La Jolla Cancer Research Foundation, serta Sterling Winthrop Pharmaceutical, produsen Panadol dan Aspirin. Ketika itu, menurutnya, universitas-universitas kurang terbuka untuk merekrut kandidat dari luar Amerika Serikat.
Terlepas dari berbagai kendala tersebut, tekad, kerja keras dan kegigihan Prof Teruna membuahkan hasil ketika akhirnya sebuah universitas di Lawrence, Kansas menawarinya jabatan asisten profesor dengan status pegawai tetap.
“Tahun 1991, saya dapat posisi tenure track assistant professor di Department of Pharmaceutical Chemistry, University of Kansas atau KU. Saya dapat tenure (status pegawai tetap-red) dan naik rank ke full professor tahun 2001. Tahun 2016, saya diangkat menjadi Aya & Takeru Higuchi Distinguished Professor, paparnya.
Teruna menganggap pendidikannya di Indonesia telah memberikan landasan yang kuat, terutama ketika dia berhasil lulus ujian kualifikasi untuk pencalonan PhD di U of A. “Pertama kali datang di U of A, saya harus mengambil qualifying exams (ujian kualifikasi), dan saya bisa lulus semua untuk PhD candidacy (pencalonan PhD). Jadi saya rasa, pendidikan yang saya terima di Kimia UI sudah sangat baik untuk mempersiapkan saya untuk belajar dan melakukan penelitian di Amerika.”
Namun, ia juga menyadari perbedaan budaya yang menimbulkan tantangan. Di Indonesia, mahasiswa sering kali takut membuat kesalahan, yang dapat menghambat kepercayaan diri mereka dalam menyajikan hasil eksperimen. Ketakutan akan kegagalan, menurut pengamatannya, bersifat kontraproduktif dalam lingkungan akademis Amerika, di mana kegagalan sering kali dianggap sebagai langkah penting menuju kesuksesan.
Teruna memberikan contoh bagaimana dia belajar dari penasihat program doktoralnya, bahwa eksperimen yang gagal bukanlah indikasi kegagalan pribadi, melainkan peluang untuk menyempurnakan pertanyaan penelitian dan mengeksplorasi arah baru. Perubahan pola pikir demikian memungkinkannya untuk menyikapi pekerjaannya dengan kreativitas dan keyakinan yang lebih besar.
Dengan berkaca pada pengalamannya, Teruna memberikan nasihat berharga kepada calon akademisi dari Indonesia yang memiliki aspirasi untuk meniti karir di luar negeri, terutama di AS. Selain kemampuan akademis, dia menekankan pentingnya keterampilan komunikasi yang kuat, baik lisan maupun tertulis, sebagai alat penting untuk meyakinkan rekan kerja dan peninjau tentang nilai penelitian seseorang.
Ia juga menekankan perlunya keterampilan interpersonal, karena kolaborasi sangat penting dalam dunia penelitian ilmiah yang kompleks. Terakhir, dia menggarisbawahi pentingnya integritas ilmiah, sebuah prinsip yang ia junjung tinggi dan diajarkan kepada para mahasiswanya, untuk memastikan bahwa hasil karya dan ide-ide mereka dapat dipercaya dan dihormati dalam komunitas ilmiah.
“Scientific integrity atau kejujuran ilmiah kita sebagai periset sangat penting. Ini topik yang cukup hangat di Indonesia. Di Amerika, kita mengajarkan topik ini setiap tahun untuk mengingatkan mahasiswa bahwa integritas kita sebagai saintis perlu dijaga sehingga ucapan-ucapan kita dan hasil-hasil kita bisa dipercayai oleh saintis lain dan publik,” imbuhnya.
Perjalanan Siti Kusujiarti: Dari Yogyakarta ke North Carolina
Siti Kusujiarti, PhD, seorang profesor dan ketua Departemen Studi Sosial dan Budaya, di Warren Wilson College di Asheville, North Carolina, telah menghabiskan 25 tahun terakhir membangun kariernya di AS. Perjalanan akademisnya dimulai di Yogyakarta, tempat ia meraih gelar sarjana sosiologi dari Universitas Gadjah Mada. Ia kemudian menempuh pendidikan Master dan Doktor di University of Kentucky, diikuti dengan beasiswa pascadoktoral di Ohio University.
Menurut Siti, jalan yang ditempuhnya untuk menjadi profesor tetap (full professor) boleh dibilang tidak mudah. Awalnya, ia tidak berencana untuk tinggal di AS dalam jangka panjang, tetapi setelah melamar ke banyak institusi, ia berhasil mendapatkan posisi di Warren Wilson College. Ia menyatakan bahwa proses penerimaan sebagai guru besar tetap, sangat panjang dan kompetitif, karena bersaing ketat dengan kandidat lain, tidak hanya hari Amerika tetapi dari seluruh dunia, lantaran setiap lowongan posisi profesor harus diiklankan secara publik.
“Perjalanannya panjang, sebenarnya dulu saya tidak berencana untuk bekerja dan tinggal di sini, tetapi karena waktu itu hanya coba-coba untuk melamar pekerjaan di sini kebetulan diterima. Tapi, waktu itu kalau kita mau cari pekerjaan di sini kan harus mencoba di berbagai macam lembaga, mungkin waktu itu saya sempat apply ke sekitar 50 tempat. Kemudian di sini kan mungkin berbeda dengan di Indonesia. Yang namanya tenure track position (posisi berstatus pegawai tetap) itu harus dibuka secara terbuka, jadi secara publik, baik domestik, maupun global, dan untuk posisi dosen biasanya di Chronicle of Higher Education dan sebagainya,” ungkapnya.
Setelah berhasil mendapat panggilan, Siti masih harus melewati langkah-langkah ketat termasuk serangkaian wawancara, demonstrasi mengajar, dan presentasi penelitian. Bagi kandidat internasional seperti dirinya, kompleksitasnya melebar hingga ke prosedur imigrasi, yang memerlukan sponsor institusi dan sering kali melibatkan proses birokrasi yang juga panjang.
Di Warren Wilson College, Siti menemukan lingkungan akademis unik yang menekankan pendidikan seni liberal dengan fokus kuat pada pengajaran. Budaya demokratis dan informal di kampus itu menonjol baginya, khususnya dalam cara mahasiswa dan staf pengajar berinteraksi. Mahasiswa di Warren Wilson menyapa profesor mereka dengan nama depan, dan cara demikian menumbuhkan rasa keterbukaan dan kesetaraan, norma yang dihargainya, khususnya mengingat kontras yang mencolok dengan budaya akademis yang lebih hierarkis.
“Interaksi dengan kolega, interaksi dengan mahasiswa itu berbeda di sini, terutama di tempat saya ini menganut sistem yang sangat demokratis. Jadi, mahasiswa tidak memanggil saya prof di sini, mereka memanggil saya Siti karena kita ingin hubungan itu lebih demokratis dan terbuka,” tambahnya.
Siti juga mengamati keterbukaan dan penerimaan terhadap orang dengan bentuk fisik maupun warna kulit yang berbeda, serta berbagai latar belakang lain yang berbeda.
“Di sini lebih terbuka ya, terutama ya di tempat saya sekali lagi ya, masalah agama misalnya, masalah ras dan sebagainya, itu mereka sangat berhati-hati. Mereka tidak akan menyerang kita secara personal karena hal-hal yang bersifat fisik atau berkaitan dengan agama, berkaitan dengan gender, seksualitas, dan sebagainya. Itu sangat jelas hukumnya maupun regulasinya di sini…yang membuat saya betah di sini karena saya bisa menjadi diri saya sendiri. Saya tidak perlu menutup-nutupi identitas saya, identitas dalam hal etnisitas, identitas dalam hal agama, maupun yang lainnya,” papar Siti.
Pengalaman Siti sebagai akademisi Indonesia di AS sebagian besar positif, khususnya dalam hal bagaimana latar belakangnya memperkaya pengajaran dan penelitiannya. Dia menggabungkan perspektif budayanya ke dalam karyanya, menawarkan mata kuliah tentang Asia Tenggara dan melibatkan mahasiswanya dalam kolaborasi internasional.
Penelitiannya, yang berfokus pada bencana dan perubahan iklim, sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan koneksinya di Indonesia. Dia menyoroti pentingnya memasukkan perspektif non-Barat yang beragam dalam wacana akademis, khususnya dalam sosiologi, di mana pendekatan pascakolonial semakin diakui.
Salah satu misi utama Siti adalah membangun jembatan antara lembaga akademis di AS dan Indonesia. Ia aktif berkolaborasi dengan rekan-rekan di Indonesia dalam proyek penelitian, pemberian kuliah bersama, dan program studi di luar negeri. Upaya ini tidak hanya memperkaya pengalaman akademis bagi para mahasiswa, tetapi juga berkontribusi pada tujuan yang lebih luas untuk mendekolonisasi disiplin akademis dengan mengintegrasikan perspektif global.
Berkaca pada kariernya, Siti memberikan nasihat kepada para calon akademisi, khususnya mereka yang berasal dari Indonesia. Ia menekankan pentingnya memiliki strategi yang jelas dan sistematis serta bersiap untuk bekerja keras dan terus bersaing.
“Menyeimbangkan tuntutan profesional dengan kehidupan pribadi sangatlah penting, terutama bagi mereka yang memiliki tanggung jawab keluarga,” tambahnya.
Perjalanan Herry Utomo: Dari Malang ke Louisiana
Herry Utomo, PhD adalah guru besar dan peneliti di Louisiana State University (LSU) di Baton Rouge, Louisiana. Di lembaga itu dia juga menerima anugerah sebagai F. Avalon Daggett Endowed Professor, yang merupakan tonggak penting dalam kariernya. Sebagai peneliti yang berdedikasi, karyanya telah menghasilkan pengembangan produk yang kini beredar di pasaran di Amerika Serikat, yang memberinya royalti. Meskipun tidak lagi diharuskan utuk mengajar, Herry sering melakukannya, baik di LSU maupun daring untuk berbagai universitas di Indonesia, yang mencerminkan komitmennya pada pendidikan dan berbagi ilmu pengetahuan.
Perjalanan akademis Herry dimulai di Malang, tempat ia memperoleh gelar sarjana dalam pemuliaan tanaman dari Universitas Brawijaya. Ia kemudian menempuh pendidikan Master di University of Kentucky, diikuti dengan gelar doktor di LSU, yang didukung oleh beasiswa, dan melanjutkan sebagai peneliti pascadoktoral di almamater yang sama sebelum diangkat sebagai asisten profesor.
Seiring berjalannya waktu, ia naik jabatan menjadi profesor madya dan akhirnya menjadi profesor penuh pada 2017. Herry mengaitkan keberhasilannya dengan pendekatannya yang optimis dan berpikiran terbuka terhadap kehidupan dan pekerjaan, yang memungkinkannya beradaptasi dengan lingkungan budaya yang berbeda dan unggul dalam bidangnya.
Salah satu pencapaian Herry yang menonjol adalah penelitiannya tentang beras, makanan pokok di Indonesia. Ia dan timnya, termasuk mendiang istrinya, yang juga seorang profesor, mengembangkan varietas beras dengan indeks glikemik yang rendah, sehingga lebih aman bagi penderita diabetes. Beras ini tidak dimodifikasi secara genetik tetapi dikembangkan melalui proses mutasi alami. Varietas tersebut akhirnya dirilis dan dilisensikan ke dua perusahaan, yang merupakan pencapaian signifikan dalam karier penelitiannya.
“Nah ini kita berikan jalan, silakan makan nasi, ini aman. Jadi kira-kira begitu dengan mengubah sifat genetik dari tanaman itu, tidak GMO, bukan genetically modified plant (tanaman yang dimodifikasi secara genetik), tapi adalah natural plant (tanaman alami) yang kita ciptakan di Louisiana. Secara alami memang karakter ini tidak ada, jadi harus kita ciptakan melalui mutasi. Sangat bersyukur kita berhasil mendapatkan galur itu,’ tandasnya.
Transisi Herry dari sistem pendidikan Indonesia ke sistem Amerika penuh tantangan, terutama dalam hal beradaptasi dengan budaya diskusi dan debat terbuka. Di Indonesia, ia terbiasa dengan sistem yang lebih hierarkis di mana mempertanyakan otoritas adalah hal yang tidak umum. Namun, di AS, dialog terbuka dan pemikiran kritis sangat dianjurkan, yang awalnya terasa menakutkan tetapi akhirnya terbukti bermanfaat. Perubahan perspektif ini membantunya mengembangkan pola pikir yang lebih dinamis dan adaptif, yang sangat penting dalam keberhasilan akademis dan penelitiannya.
Sebagai profesor asing di AS, Herry telah menghadapi tantangan, tetapi ia memilih untuk fokus pada pencapaian dan kontribusinya daripada berkutat pada hambatan. Ia percaya bahwa keberhasilan dalam dunia akademis, khususnya di negara asing, membutuhkan pandangan positif, ketahanan, dan kemampuan untuk menavigasi lingkungan budaya dan akademis yang berbeda.
Untuk mencapai suatu posisi dan prestasi, Herry menegaskan halangan dan tantangan ada di mana saja, termasuk di Indonesia, tetapi semuanya bisa dilalui, di antaranya dengan sikap positif, tekun, tidak mengeluh, tidak putus asa, dan patuh pada aturan.
“Jadi, meskipun karakter budaya kita sudah bagus, tapi ada yang mengeluh, ada yang putus asa, ada yang merasa, oh, terlalu banyak, dan sebagainya. Kalau saya melihatnya agak lain. Ini adalah kesempatan. Jadi, betapa enaknya udara bersih, semua teratur, kemudian semua proses teratur, dan kalau mau jadi profesor juga jenjangnya sudah teratur, kreditnya jelas, tidak bisa korupsi, kira-kira gitu,” akunya.
Herry juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara mematuhi norma budaya dan bersikap terbuka terhadap ide dan cara berpikir baru. Ia mencatat bahwa meskipun orang Indonesia pekerja keras dan penuh hormat, ada juga kebutuhan untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan kemauan untuk menantang norma yang sudah ada untuk mendorong inovasi. Keseimbangan ini sangat penting untuk keberhasilan dalam lingkungan yang kompetitif dan dinamis seperti Amerika Serikat.
Bagi mahasiswa dan akademisi Indonesia yang bercita-cita membangun karier di AS, Herry menyarankan untuk merangkul perbedaan dalam budaya dan sistem pendidikan. Ia menekankan pentingnya bersikap terbuka terhadap kritik dan terlibat dalam diskusi yang dapat menantang pandangan seseorang. Kepercayaan diri dan kemampuan untuk berpikir kreatif sangat penting untuk berkembang di AS, di mana otoritas dan kepercayaan diri individu sangat dihargai.
Sumbangsih untuk Tanah Air
Terkait perayaan Hari Kemerdekaan RI yang ke-79, ketiga profesor merasa optimistik dengan masa depan bangsa Indonesia. Mereja juga terus berusaha untuk memberikan sumbangsih untuk tanah air, terutama dalam bidang pendidikan.
Selain karya akademisnya, Herry sangat terlibat dalam komunitas diaspora Indonesia, apalagi kini dia menjabat sebagai presiden Indonesian Diaspora Network Global (IDN Global). Ia sering bepergian ke Indonesia, di mana ia berkontribusi pada berbagai inisiatif pendidikan, termasuk upaya peningkatan kualitas pendidikan di Papua, dan bekerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia.
Meskipun tinggal di AS, Herry tetap terhubung dengan tanah air, berpartisipasi dalam acara budaya dan mendukung inisiatif yang memperkuat hubungan antara Indonesia dan diasporanya.
Herry Utomo, PhD, merenungkan rasa patriotisme yang kuat di antara diaspora Indonesia. Ia melihat hal ini sebagai faktor kunci dalam ketahanan dan keberhasilan komunitas di luar negeri. Melihat ke masa depan, Herry optimis tentang potensi Indonesia untuk memadukan warisan budayanya yang kaya dengan inovasi modern, seperti negara-negara Asia lainnya, terutama Korea Selatan, yang telah berhasil mengekspor budaya mereka secara global.
“Kulturnya sekarang bisa meledak ke seluruh dunia, tanpa harus mengikuti benar model Barat,” imbuhnya.
Sementara Siti Kusujiarti, PhD, menggarisbawahi peran penting pendidikan bagi masa depan bangsa. Ia menganjurkan interpretasi pendidikan yang luas yang melampaui ruang kelas formal untuk mencakup pembelajaran seumur hidup. Menurutnya, berpikir kritis sangat penting untuk menavigasi kompleksitas dunia modern, khususnya pada era media sosial dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Ia berpendapat bahwa mengembangkan dan mengintegrasikan keterampilan berpikir kritis di semua bidang kehidupan sangat penting bagi Indonesia untuk bersaing di panggung global.
Menutup pembicaraan dengan VOA, Teruna Siahaan, PhD, mengatakan bahwa dia masih sangat mencintai Indonesia. Oleh karena itu dia masih berusaha meluangkan waktu menjadi dosen melalui tautan Zoom di berbagai universitas di Indonesia, di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Indonesia. Dia juga mensponsori para mahasiswa pascasarjana dan pascadoktoral dari Indonesia untuk melakukan penelitian di University of Kansas.
“Makanya saya selalu bawa mahasiswa-mahasiswa dari Indonesia untuk mempertinggi tingkat edukasi mereka. Baru-baru ini saya dapat dana besar dari National Institute of Health (NIH). Saya bisa menggaji postdoc dan postdoc yang akan saya hire itu orang Indonesia. Karena saya ingin meningkatkan level intelektualitas dari anak-anak muda Indonesia. Jadi sengaja saya mencari orang-orang pintar Indonesia untuk kerja di sini. Karena saya kebetulan dapat dana besar dari NIH. Dan, salah satu motivasi saya adalah untuk mempertinggi scientific level dari universitas di Indonesia, di bidang saya ya, yang bisa saya kontribusi,” pungkas Profesor Siahaan. [lt/ns]
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
SUMBER : VoAindonesia.com