Sekjen AMAN: Dana Karbon Jangan Jadi Selubung Kriminalisasi Masyarakat Adat

  • Bagikan
Jangan Terima Dana Karbon dari Orang yang Jahat – Sekjen .SUARAINDO.ID/SK

Suaraindo.id – Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengingatkan komunitas adat untuk waspada terhadap penyaluran dana karbon (carbon fund) yang berpotensi menjadi alat pembenaran atas perampasan wilayah adat dan kriminalisasi masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan Rukka saat memberikan sambutan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-VIII AMAN di Komunitas Adat Kutai Lawas Sumping Layang, Desa Kedang Ipil, Kalimantan Timur, Senin (14/4/2025).

“Kita menikmati uang karbon dari penderitaan saudara-saudara kita. Dana itu dibayarkan oleh perusahaan yang telah merampas tanah adat dan mengkriminalisasi masyarakat adat di tempat lain,” tegas Rukka di hadapan ratusan peserta Rakernas.

Kalimantan Timur diketahui menjadi provinsi pertama di Indonesia yang menerima dana karbon dalam skema Forest Carbon Partnership Facility – Carbon Fund (FCPF-CF) pada 2022. Ratusan miliar rupiah digelontorkan ke daerah ini untuk mendukung pelestarian hutan dan penurunan emisi karbon.

Namun, AMAN mencatat bahwa salah satu perusahaan yang terlibat dalam pendistribusian dana karbon tersebut juga memiliki rekam jejak buruk dalam konflik agraria. Rukka menyoroti kasus di wilayah Tano Batak, Sumatera Utara, di mana lebih dari 167 ribu hektare tanah adat hilang akibat aktivitas perusahaan tersebut.

“Empat dekade masyarakat adat di Tano Batak berjuang, tapi tanah mereka terus dirampas dan mereka dikriminalisasi. Lalu perusahaan yang sama membayar komunitas adat di Kalimantan Timur? Ini ironi,” ucap Rukka.

Dalam kesempatan tersebut, Rukka juga menyinggung lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat adat meski telah ada 350 produk hukum daerah, termasuk peraturan daerah dan surat keputusan pengakuan masyarakat adat.

“Produk hukum itu tidak memiliki kekuatan karena tidak diintegrasikan dalam sistem hukum nasional. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah jelas menyatakan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat melalui Putusan MK No. 35/PUU-X/2012,” jelasnya.

Selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, AMAN mencatat 11,7 juta hektare wilayah adat hilang. Sementara itu, sejak awal 2025 hingga Maret saja, telah terjadi 113 kasus kriminalisasi masyarakat adat di berbagai wilayah.

“Angka ini mencerminkan bahwa situasi semakin memburuk. Perjuangan kita bukan hanya soal tanah, tapi soal keadilan,” tambah Rukka.

Ketua Pengurus Harian AMAN Wilayah Bengkulu, Fahmi Arisandi, menuturkan bahwa meskipun tiga kabupaten di Bengkulu—Lebong, Rejang Lebong, dan Seluma—sudah memiliki Perda pengakuan masyarakat adat, kriminalisasi tetap terjadi.

“Di Seluma, komunitas adat dituduh mencuri di tanahnya sendiri. Ini sangat menyakitkan dan tak masuk akal,” ujar Fahmi.

Sejumlah perempuan adat yang hadir dalam Rakernas juga menyuarakan desakan agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan. Mereka menilai undang-undang adalah bentuk perlindungan konkret yang selama ini hanya dijanjikan.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, turut menyampaikan kritik terhadap lambannya pembahasan RUU tersebut. Ia menekankan perlunya model pengaturan yang komprehensif dan terintegrasi.

“Sudah belasan tahun RUU Masyarakat Adat bergulir, tapi belum ada kejelasan. Ini pelajaran penting bagi kita semua agar tidak mengulangi kesalahan yang sama,” katanya.

Rakernas AMAN ke-VIII kali ini menjadi panggung penting untuk menyuarakan kegelisahan dan harapan masyarakat adat. Pesan yang mengemuka jelas: hak masyarakat adat tidak bisa dibayar murah, apalagi jika bersumber dari penderitaan komunitas lain.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan