Kezaliman di Balik Tambang Bauksit Ilegal Tayan

  • Bagikan
SUARAINDO.ID/SK

Oleh: Sri Wahyu Indawati, M.Pd

Kasus tambang bauksit ilegal di Tayan, Sanggau, Kalimantan Barat (panjinasional.net, 26/5), adalah potret buruk dari rapuhnya sistem hukum dan tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Dugaan adanya “backingan kuat” di balik kelancaran operasi tambang ilegal tersebut bukan sekadar isu hukum, tetapi mencerminkan kedalaman masalah struktural dalam sistem politik-ekonomi kita yang dikuasai oleh oligarki tambang. Fakta bahwa aktivitas tambang ilegal bisa berjalan terang-terangan, bahkan disebut-sebut difasilitasi oleh tokoh lokal berinisial A atau BNB, memperlihatkan betapa fungsi pengawasan negara melemah, bahkan mungkin dibajak oleh kepentingan segelintir elite.

Modus “mengatasnamakan masyarakat” agar tambang ilegal diterima sosial (jnn.co.id, 25/5) adalah strategi klasik kapitalisme oportunistik yang memanfaatkan kemiskinan struktural sebagai alat legitimasi. Dalam konteks ini, masyarakat bukan benar-benar pemilik manfaat, melainkan hanya diperalat demi melanggengkan eksploitasi dan melicinkan jalur logistik keuntungannya. Jika ini benar adanya, maka negara telah gagal melindungi rakyat dan sumber daya milik umum dari perampasan oleh kelompok predatoris.

Dari segi hukum, tambang-tambang besar seperti bauksit dengan deposit melimpah merupakan milik umum yang semestinya dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan segelintir individu atau korporasi. Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi Islam maupun mandat konstitusi Indonesia. Namun, Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 justru membuka celah legal bagi dominasi swasta dalam pengelolaan tambang. Ini memperlihatkan inkonsistensi negara, di satu sisi mengklaim kekayaan alam untuk rakyat, tapi di sisi lain menyerahkannya kepada pemilik modal melalui skema perizinan yang rawan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Realitas di lapangan memperkuat dugaan bahwa perizinan bukan soal prosedur administratif, tapi transaksi ekonomi-politik. Banyak penambang ilegal yang bisa terus beroperasi hanya dengan “membayar sana, membayar sini.” Ini adalah bentuk nyata dari state capture, di mana pengusaha tambang mampu membeli kelonggaran hukum, netralisasi aparat, bahkan restu elite lokal. Negara pun kehilangan wibawa karena praktik seperti ini berlangsung secara vulgar dan terstruktur.

Yang lebih memprihatinkan, kejahatan seperti ini bukan hanya persoalan legal-formal, tetapi merupakan bentuk kezaliman besar. Al-Hakam bin al-Harits as-Sulami menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda, “Siapa saja yang mengambil dari jalan kaum muslim sejengkal tanah saja, dia akan datang pada hari kiamat memanggul tanah itu tujuh lapis bumi .” (HR Abu Ya’la, Ibnu Hajar al-‘Ashqalani berkata sanadnya hasan).

Dalam perspektif Islam, menguasai tanah milik umum secara zalim, apalagi untuk eksploitasi tambang, termasuk dosa besar yang diancam dengan siksa berat di akhirat. Hadis-hadis Nabi yang menegaskan bahwa siapa pun yang merampas sejengkal tanah akan dibebani dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat, adalah pengingat keras bagi para pelaku dan pendukung praktik ilegal ini.

Persoalan tambang ilegal ini tidak akan selesai jika sistem kapitalisme-liberal yang rakus tetap dipertahankan. Sistem ini menempatkan investasi di atas keadilan sosial, dan memberi kuasa besar pada pemilik modal untuk mengeksploitasi sumber daya milik rakyat. Jika negara hanya fokus pada siapa yang mampu investasi, bukan pada siapa yang berhak dan apa yang adil, maka keberpihakan terhadap rakyat hanya akan menjadi ilusi demokrasi.

Sudah saatnya negara berani melakukan reformasi total dalam pengelolaan sumber daya alam ala kapitalisme-liberal. Hentikan praktik impunitas terhadap pelaku tambang ilegal, tangkap aktor-aktor intelektual di balik layar, dan cabut izin korporasi yang terlibat dalam kejahatan lingkungan dan perampasan hak rakyat. Hal tersebut hanya pasti bisa dipraktikkan jika kembali pada aturan Allah SWT yang Maha Sempurna. Tanpa itu, negara ini hanya akan menjadi ladang rampokan oleh para mafia tambang yang berlindung di balik selimut kekuasaan. Wallahu a’lam.

 *Penulis adalah Aktivis Muslimah Kalimantan Barat

  • Bagikan