Corona dan Perang Melawan Kecemasan Berlebihan

  • Bagikan
Oleh: Sugeng Rohadi

SELAIN menyasar kesehatan secara fisik, Virus Corona atau Covid–19 juga memberikan tekanan luar biasa terhadap mental manusia. Tidak hanya secara individual, tetapi juga komunal. Kecemasan berlebihan atau larut dalam kecemasan telah menjelma sebagai dampak paling nyata dari teror virus ini.

Sejatinya, rasa cemas adalah sifat manusiawi. Mengutip pendapat Sutardjo Wiramihardja, (2005:66) bahwa kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari–hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas, baik asal maupun wujudnya.

Savitri Ramaiah, (2003:10) menjelaskan bahwa pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami setiap manusia dan menimpa hampir semua orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Hal tersebut dapat muncul sendiri atau bergabung dengan gejala–gejala lain dari berbagai gangguan emosi.

Meski rasa cemas adalah manusiawi. Namun, rasa cemas yang berlebihan atau terjadi secara terus menerus sangat berdampak pada psikis manusia ketika berhadapan dengan masalah. Misalnya, kasus mewabahnya Covid–19 di dunia dan Indonesia. Bila tidak ada kedewasaan masyarakat dalam melihat dan menyelesaikan masalah ini, maka akan terjadi kecemasan terus menerus yang mempengaruhi mentalitas masyarakat sendiri dan cenderung menjadi paranoid. Karena sudah paranoid tadi, masyarakat akhirnya mendapatkan tekanan secara kontinyu. Baik itu terhadap imbauan pemerintah, ketegasan aparat dan sebagainya.

Misalnya, yang kerap dijumpai, banyak orang yang sudah ketakutan bila melihat ada rekan atau tetangganya yang batuk pilek. Takut dengan mereka yang diketahui sedang berstatus orang dalam pemantauan (ODP), apalagi pasien dalam pengawasan (PDP) dan terkonfirmasi positif. Belum lagi kebijaksanaan dalam penggunaan tagar #dirumahaja sebagai social distancing. Hal ini adalah upaya positif, tetapi bisa menjadi masalah baru bila tidak digunakan secara bijaksana. Harapannya tentu saja #dirumahaja akan menjadi pemutus rantai penyebaran Virus Corona dengan catatan tidak membuat orang takut keluar rumah. Belum lagi, sejumlah orang telah menganggap ini sebagai ketidakadilan sosial bagi masyarakat kecil yang belum mendapatkan bantuan ril dari pemerintah dan mesti keluar rumah untuk mengais rejeki.

Kenyataan ini memang harus diterima. Suka atau tidak suka. Karena tidak hanya bersifat individual, paranoid telah terjadi secara massal. Banyak orang, kemudian berlomba–lomba menghadirkan bilik disinfektan, menyediakan alat cuci tangan, bahkan dilarang ini dan itu. Padahal, apa yang disarankan adalah pola hidup bersih dan sehat, yang sebelum mewabahnya Covid-19 juga mesti dilakukan oleh setiap orang.

Pola hidup bersih dan sehat adalah cara pencegahan standar dan utama. Artinya, ada wabah atau tidak, tetap harus dilakukan. Lalu, apakah kita tidak harus melakukan itu semua. Atau pasrah saja dengan keadaan dan sebagainya. Hemat penulis, upaya pencegahan dan penanganan adalah keharusan yang mesti diikhtiarkan sebagai indikator sederhana bahwa manusia menggunakan potensi dan kompetensinya dalam menghadapi suatu masalah seperti wabah Covid-19. Meski demikian, jangan lupa bahwa faktor psikologis manusia seperti kecenderungan takut dan sebagainya. Bagaimanapun, psikis manusia akan sangat berpengaruh terhadap kekuatan fisik atau daya tahan tubuh manusia dalam menghadapi masalah.

Memang tidak mudah. Dalam hal pencegahan dan penanganan Covid–19 ini, pemerintah dihadapkan pada tiga hal besar yakni mencegah penyebaran virus Corona, menyembuhkan orang–orang yang terpapar dan membentuk kedewasaan pola pikir masyarakat dari kecemasan secara berlebihan. Untuk yang terakhir, pemerintah harus lebih ekstra, karena mendewasakan pola pikir masyarakat justru jauh lebih sulit ketimbang menyembuhkan mereka yang terpapar Covid–19.

Segenap upaya pemerintah dan masyarakat harus terus didukung dengan catatan tidak menjadi bumerang karena ketidaksiapan mental warganya. Sekali lagi, perjuangan ini mesti didukung. Ini adalah upaya menyelamatkan jutaan nyawa masyarakat Indonesia bahkan dunia. Selain itu, edukasi kepada masyarakat juga tidak boleh luput dari perhatian. Misalnya, yang paling sederhana, yakni membuat masyarakat tidak panik.

Berbagai pengalaman para pasien positif Covid–19 yang sembuh (dimuat sejumlah media massa) agaknya dapat menjadi referensi bahwa rasa senang dan gembira menjadi salah satu sumber kekuatan melawan serangan fisik dan psikis virus Corona. Itu artinya, pemerintah, aparat, petugas medis, pasien dan masyarakat diajak untuk tetap hepi, tenang dan positif thinking melawan keganasan virus Corona. Kekuatan yang dipunya Indonesia, sebagai negara besar, pasti akan mampu menghadapi kondisi saat ini.

Hemat penulis, upaya pemerintah dan segenap masyarakat dari segi fisik sangat penting guna mencegah munculnya lebih banyak korban jiwa. Hal ini sama pentingnya dengan upaya menjaga mentalitas masyarakat untuk tidak cemas secara berlebihan (larut dalam kecemasan) dalam menghadapi suatu masalah. Semoga kita selalu dalam kondisi sehat fisik dan mental.

*Penulis adalah Direktur Pusat Kajian dan Keilmuan Pojok Si Gondrong

  • Bagikan