Suaraindo.id- BP2MI terus berupaya untuk menekan dan menurunkan jumlah PMI ilegal yang bekerja di luar negeri sebagai bentuk memberikan keamanan dan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mensosialisasikan UU nomor 18 Tahun 2017.
Undang-undang (UU) nomor 18 tahun 2017 merupakan UU pengganti dari UU sebelumnya yakni nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Pada UU nomor 18 tahun 2017, negara Indonesia menjamin setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh penghidupan dan pekerjaan yang layak.
“UU nomor 18 tahun 2017 ini penting untuk disosialisasikan kepada masyarakat terutama berhubungan dengan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dulu namanya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan juga ketika mendengar nama TKI, banyak orang yang beranggapan negatif yang menilai TKI selalu menjadi beban dan lainnya,” jelas Kepala BP2MI, Benny Rhamdani di Auditorium gubenuran senin (7/6/21).
Dengan banyaknya stigma negatif terhadap TKI, maka saat ini namanya berganti dengan PMI. PMI sendiri bisa dikatakan sebagai orang-orang yang terhormat dan mendapatkan sebutan sebagai pahlawan devisa. Bahkan PMI merupakan penyumbang devisa nomor dua terbanyak di Indonesia setelah sektor Minyak dan Gas (Migas).
Ia menambahkan, per tahunnya pendapatan yang didapatkan dari devisa PMI yakni mencapai Rp 159,6 triliun. Maka dari itu, BP2MI memberikan penghargaan dengan cara menjamin PMI tidak mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dan negara harus selalu hadir bagi PMI.
Berbicara mengenai PMI, Benny mengungkapkan, hal yang selalu menjadi permasalahan yakni masih banyaknya PMI ilegal yang memanfaatkan oknum calo untuk bisa bekerja ke luar negeri namun tidak diberikan jaminan kehidupan yang aman dan nyaman.
Kondisi tersebut salah satunya disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang mekanisme maupun cara bagaimana mendaftar menjadi PMI dengan jalur resmi. Selain itu, kurang bersinerginya hubungan antara Pemerintah Daerah (Pemda) dengan BP2MI maupun Unit Pelaksana Tugas (UPT) BP2MI yang ada di daerah.
“Dulu seolah-olah permasalahan yang dialami PMI diserahkan saja kepada pemerintah pusat atau kerja pemerintah pusat, namun dengan adanya UU nomor 18 tahun 2017, permasalahan PMI merupakan permasalahan bagi kita semua,” katanya.
Di UU nomor 18 tahun 2017 ini disebutkan bahwa PMI yang dilindungi oleh negara itu tidak hanya yang bekerja di daratan, tapi yang bekerja di lautan atau yang sedang berlayar. Kemudian, distribusi kepada Pemda sangat tegas seperti yang disebutkan dalam pasal 40.
Benny menjelaskan, dalam pasal 40 disebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan calon PMI menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi (Pemprov).
Lalu pasal 41 menyebutkan, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi calon PMI menjadi tanggung jawab dari Pemerintah Kabupaten dan Kota, dan pasal 42 ditegaskan masyarakat yang ingin menjadi PMI merupakan tugas dari pemerintah desa.
“Sinergi ini dimulai dari tingkat paling rendah dalam masyarakat karena kami tidak ingin negara tidak hadir bagi PMI, dan sebagai upaya perlindungan bagi PMI yang akan maupun sedang bekerja di luar negeri,” ujarnya.
Lebih lanjut Benny menyampaikan, khusus untuk Provinsi Sumatra Barat (Sumbar), saat ini menempati posisi ke 17 dari 34 Provinsi yang paling banyak penempatan PMI yang bekerja di luar negeri. Dalam 3 tahun terakhir, jumlah warga Sumbar yang menjadi PMI berjumlah sebanyak 2.411 orang.
“Jadi kalau dihitung per tahunnya, maka jumlah warga Sumbar yang menjadi PMI dan bekerja ke luar negeri berjumlah sebanyak 804 orang. Bahkan pernah dalam satu tahun angka tertinggi PMI asal Sumbar yakni sebanyak 1.300 orang,” tutur Benny.
Jumlah sebanyak 2.411 orang PMI asal Sumbar itu merupakan PMI yang resmi, sedangkan untuk PMI yang tidak resmi atau ilegal biasanya jumlahnya 2 sampai 3 kali lipat dari PMI resmi. “Berarti kalau ada 2 ribu lebih yang resmi, maka PMI ilegal diperkirakan berjumlah sekitar 6 ribu orang,” ungkap Benny.
Di sisi lain, dalam satu tahun terakhir, BP2MI telah memulangkan sebanyak 870 jenazah PMI yang bekerja di luar negeri. 640 jenazah diantaranya PMI yang menderita penyakit. Selama dirawat di Rumah Sakit (RS) biaya ditanggung oleh pemerintah.
Kemudian sebanyak 53 ribu PMI yang memiliki status terkendala difasilitasi kepulangan oleh BP2MI dengan seluruh biaya pemulangan ditanggung oleh pemerintah sampai pemberian ongkos pulang.
“Inti dari hal ini adalah sampai kapan BP2MI bekerja seperti pemadam kebakaran. Permasalah PMI ini harus menjadi tanggung jawab bersama mulai dari hulunya,” ujar Benny.
Benny menjelaskan, dampak dari sindikat atau mafia keberangkatan PMI ilegal tersebut yakni masyarakat Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri demi mengubah kehidupan keluarga, malah kebanyakan menjadi korban kekerasan dan lainnya.
Benny menyebutkan, untuk PMI asal Sumbar, pihaknya mendapatkan laporan pada 65 kasus kekerasan terhadap PMI ilegal pada tahun 2021 dengan rincian tahun 2020 sebanyak 10 kasus, pada 2019 sebanyak 18 kasus, dan tahun 2018 terdapat 37 kasus.
Kasus-kasus yang mendominasi dan dihadapi oleh PMI ilegal tersebut diantaranya kekerasan fisik, kekerasan seksual, gaji yang tidak dibayarkan, pemutusan kerja sepihak, pemberlakuan jam kerja yang berlebihan, dan lainnya.
“Banyak yang kami tangani PMI yang bahkan sampai cacat seumur hidup, hilang ingatan, depresi, dan bahkan ada PMI kita yang lompat dari lantai atas apartemen,” kata Benny.
Maka perang terhadap sindikat mafia PMI ilegal ini sangat digencarkan sekarang salah satunya dengan masifnya sosialisasi tentang UU nomor 18 tahun 2021 yang mengatur sinergitas antara pemerintah pusat dengan Pemda dalam melindungi PMI.
Pemda diminta berperan aktif dalam memberikan jaminan dan perlindungan bagi warga mereka yang bekerja sebagai PMI di luar negeri. Hal tersebut harus dilakukan karena para PMI tersebut telah berkontribusi dalam pendapatan suatu daerah.
Benny mengungkapkan, untuk Provinsi Sumbar, dari para PMI mereka yang bekerja, pendapatan yang diterima bisa melebihi Rp 23,1 miliar per tahun. Angka tersebut berdasarkan perhitungan dari data yang dihimpun oleh BP2MI.
Sementara itu untuk peluang kerja sebagai PMI, Benny mengatakan, peluangnya sangat besar. Pasalnya, sejak 5 tahun terakhir, kebutuhan akan pekerja migran berjumlah sebanyak 345 ribu pekerja migran. Untuk Indonesia sendiri mendapatkan kuota sebanyak 70 ribu pekerja migran.
“Dan tahun 2021 ini, Indonesia hanya memenuhi sebanyak 5 ribu pekerja. Maka peluang bagi masyarakat yang belum bekerja untuk jadi PMI sangat terbuka lebar,” jelasnya.