Demo di Kantor Gubernur Aceh, Alamp Aksi Tolak Perpanjangan Izin HGU PT Socfindo Aceh Singkil

  • Bagikan
Alamp Aksi Menyampaikan Penolakan Perpanjangan Izin HGU PT Socfindo Aceh Singkil. (Suaraindo.id/Agus Darminto)

Suaraindo.id – DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Aceh melakukan aksi unjuk rasa di kantor Gubernur Aceh, Senin (29/1/2024).

Aksi tersebut dilakukan menyampaikan penolakan terkait Perpanjangan Izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Socfindo Aceh Singkil

Ketua DPW Alamp Akasi Aceh, Mahmud Padang mengatakan berakhirnya izin HGU PT Socfindo pada 2023 lalu merupakan peluang bagi rakyat Aceh untuk terbebas dari penjajahan modern ala HGU yang selama ini terjadi di Bumi Syekh Abdurrauf As-Singkily. Dia menyampaikan bahwa PT Socfindo sudah menggarap lahan di Aceh Singkil selama kurang lebih 90 tahun.

“Berdasarkan surat yang pernah diterbitkan Badan Pertanahan Aceh Selatan tahun 1998 (ketika Aceh Singkil masih bagian Aceh Selatan) luas HGU PT Socfindo kurang lebih 4.414 Ha dan izinnya telah berakhir pada tahun 2023.

Sehingga operasional perusahaan tersebut semestinya sudah dihentikan karena belum adanya perpanjangan izin.

Ini merupakan peluang bagi Pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi rakyatnya untuk merdeka dari penguasaan asing di bumi daerahnya yang berdaulat,” kata Mahmud Padang.

Kemudian berdasarkan Undang-undang UU No.18 tahun 2004 sebagaimana juga diubah dalam UU N0.39 tahun 2014 tentang Perkebunan, dimana dalam Pasal 58 menyatakan bahwa Perusahaan Perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan atau izin usaha perkebunan untuk budidaya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (Dua Puluh Persen) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan.

Masih kata Mahmud, di dalam Permentan No 26 Tahun 2007 pasal 11 tentang kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan.

Kemudian adapun regulasi hukum terkait kewajiban plasma 20 persen ini juga diatur dalam Permentan No. 98 Tahun 2013 dan Permen Kepala ATR No.7 Tahun 2017, PP 44/1997 tentang Kemitraan, Permentan 26/2007 tentang Pedoman perizinan usaha  perkebunan dan Permen Agraria/ Kepala BPN nomor 2/1999 tentang izin lokasi.

“Namun mirisnya, tercatat dari sejak tahun 1930 hanya sekitar delapan (8) hektar yang dihibahkan oleh PT Socfindo kepada Pemerintah Aceh Singkil, sementara selama ini persoalan kebun plasma 20 persen tak pernah direalisasikan.

Sehingga dapat dikatakan selama ini perusahaan itu sudah mengabaikan kewajibannya sebagaimana aturan, belum lagi pengelolaan CSR yang diwajibkan dalam undang-undang juga selama ini tak transparan dan tak jelas manfaatnya kepada masyarakat,” ujar Mahmud, Ketua DPW Alamp Aksi Aceh.

Mahmud memaparkan, didalam Undang-Undang perkebunan No.39 tahun 2014 diwajibkan perusahaan mengikuti standar pembangunan kebun kelapa sawit yang berkelanjutan dengan mengikuti ketentuan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia, yakni perusahaan perkebunan wajib memperhatikan faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan.

“Faktanya sangat sedikit Putra-Putri Aceh Singkil yang bekerja secara tetap di perusahaan tersebut selama ini, seakan Putra-Putri Aceh Singkil hanya dipakai untuk buruh harian lepas, padahal mereka berpuluh tahun mengambil keuntungan di daerah kita,” sesak Mahmud.

Selanjutnya dia mengungkapkan sebagaimana amanat dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Disisi lain juga sering kejadian kolam limbah PT Socfindo mencemari sungai Lae Cinendang, sehingga persoalan lingkungan juga menjadi sesuatu kekhawatiran masyarakat selama ini, karena dampak lingkungan dari pencemaran sungai tersebut sangat serius.

Tak hanya itu, sesuai dengan Qanun Aceh Singkil Nomor 2 Tahun tentang RTRW Aceh Singkil tahun 2012-2032 terdapat beberapa titik lokasi yang tak lagi sesuai dengan keberadaan PT Socfindo, dimana terjadi tumpang tindih dengan area permukiman penduduk bahkan termasuk dalam kawasan jantung kota Gunung Meriah,” beber Mahmud.

Melihat kondisi itu, DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi Aceh meminta Presiden RI melalui kepala BKPM untuk tidak memperpanjang izin HGU Perkebunan PT Socfindo Lae Butar, Kabupaten Aceh Singkil.

Menurut Alam Aksi persoalan ini seharusnya dipertegas dalam rapat komisi VI DPR RI dengan mitra nya Kepala BKPM yang memiliki wewenang untuk mencabut izin HGU tersebut, namun mirisnya selama ini anggota DPR RI komisi VI DPR RI dari Aceh banyak tidur dari pada jaga, banyak tidak peduli dan hanya butuh masyarakat ketika pemilu saja, sehingga persoalan yang dialami masyarakat Aceh Singkil tak pernah disuarakan sama sekali.

Sehingga harapan masyarakat kini digantungkan kepada Pj Gubernur dan Pj Bupagi Aceh Singkil sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah untuk serius memperjuangkan agar izin PT Socfindo tersebut tak lagi diperpanjang.

Melihat kondisi tersebut, Alamp Aksi Aceh Mendesak Pj.Bupati Aceh Singkil dan Pj. Gubernur Aceh untuk tidak memberikan rekomendasi perpanjangan izin HGU PT Socfindo di Aceh Singkil.

Meminta Pj.Gubernur Aceh dan Pj.Bupati Aceh Singkil segera menyurati Presiden dan Kepala BKPM agar tidak memperpanjang lagi izin HGU PT Socfindo mengingat banyak aturan hukum yang tidak dijalankan dilapangan dan sudah terlalu lamanya perusahaan ini mengambil manfaat di Aceh tanpa kontribusi nyata untuk masyarakat dan daerah.

Bahkan kewajiban perusahaan selama ini belum direalisasikan secara maksimal, sehingga bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan sebagaimana disebut

Kemudian mendesak Pj Gubernur dan Pj Bupati Aceh Singkil untuk tidak bermain mata dengan pihak PT Socfindo, jika mereka melakukan itu maka kami minta Presiden untuk mencopot kedua pejabat tersebut karena mengkhianati rakyatnya.

DPW Alamp Aksi mengecam anggota DPR RI Komisi VI asal Aceh yang dinilai tidak peka dengan persoalan rakyat, karena seharusnya sebagai mitra BKPM/Kementerian Investasi, anggota DPR tersebut sudah bersuara persoalan PT Socfindo di Aceh Singkil dalam rapat kerjanya dengan BKPM.

Namun, karena tak peduli, tak mengerti dan peka terhadap persoalan rakyatnya maka DPR tersebut tak kunjung bersuara padahal masalah perizinan bagian dari pada tupoksi di komisi VI DPR RI.

Untuk itu, Alamp Aksi mengajak masyarakat Aceh Singkil tak lagi memilih wakil rakyat yang tak peduli persoalan rakyatnya tersebut, karena selama ini dewan tersebut hanya perlu rakyat untuk suara pemilu saja.

Kemudian, meminta Kementerian ATR melalui Kepala Kanwil BPN Aceh untuk tidak lagi menerbitkan surat perpanjangan terkait lokasi PT Socfindo di Aceh Singkil karena ditolak oleh masyarakat dan rawan terjadi konflik sosial karena telah tumpang tindih secara koordinator dengan perkampungan warga dan meminta KPK RI mengawasi proses perpanjangan perizinan PT Socfindo karena dalam perpanjangan perizinan HGU sangat rawan terjadi suap/gratifikasi, sehingga mengabaikan aturan perundang-undangan, merugikan Rakyat dan Negara.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan