Suaraindo.id—Salah satu faktor yang menentukan elektabilitas dari seorang kandidat dalam pemilihan adalah bagaimana mereka memposisikan diri terhadap pemerintahan sebelumnya.
Apakah mereka bersedia melanjutkan kinerja pemerintahan terdahulu atau justru menawarkan perubahan. Dalam pemilihan presiden-wakil presiden yang baru berakhir, pasangan Prabowo-Gibran secara jelas mengusung keberlanjutan dari pemerintahan sebelumnya.
Mereka menawarkan kelanjutan dari kebijakan yang telah ditempuh, dengan tujuan mempertahankan stabilitas dan kemajuan yang telah dicapai.
Di sisi lain, pasangan Anies-Muhaimin mewakili suara perubahan. Mereka menaruh fokus pada reformasi dan penyesuaian kebijakan untuk merespons dinamika baru yang mungkin terjadi dalam masyarakat.
Sedangkan pasangan Ganjar-Mahfud, dengan sikap yang agak abu-abu, menawarkan kombinasi dari kedua pendekatan tersebut. Mereka berkomitmen untuk mempertahankan hal-hal yang positif dari pemerintahan sebelumnya sambil tetap fleksibel untuk melakukan perubahan yang diperlukan.
Posisi ini menentukan besaran kantong suara awal yang dapat dimenangkan oleh masing-masing kandidat. Pada Desember 2023, kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi mencapai 76,10 persen, yang menjadi modal awal bagi Prabowo-Gibran.
Di sisi lain, Anies-Muhaimin mengandalkan suara sebesar 23,90 persen dari mereka yang menginginkan perubahan. Ganjar-Mahfud berusaha merebut suara dari kedua ceruk tersebut, meskipun dengan tantangan yang lebih besar.
Namun, hasil pemilihan presiden menunjukkan bahwa pengalihan suara tidak selalu mudah. Anies-Muhaimin hanya mampu mendapatkan 24,95 persen suara, yang tidak jauh berbeda dengan persentase orang yang tidak puas dengan kinerja Jokowi. Sementara Prabowo-Gibran berhasil meraih 58,59 persen suara, dan Ganjar-Mahfud hanya mendapat 16,47 persen.
Bagi mereka yang akan bertarung di pilkada akhir November nanti, penting untuk memperhatikan hasil pemilu presiden ini dengan cermat. Terlalu terang-terangan membawa narasi yang melawan kubu Prabowo-Gibran dapat membuat kandidat memulai dengan kantong suara di bawah 50 persen.
Partai-partai pengusung 01 dan 03 harus bijak dalam memutuskan apakah membawa narasi pemilihan presiden ke pemilihan gubernur atau bupati.
Memisahkan narasi pilpres kemarin dengan pilkada akan memungkinkan mereka untuk tetap menarik simpati dari masyarakat.
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan sebelumnya dapat memberikan gambaran yang jelas tentang preferensi dan harapan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Namun, narasi pilpres kemarin tidaklah satu-satunya faktor yang mempengaruhi pilkada ke depan. Para kandidat juga harus memperhatikan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan sebelumnya baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Jika tingkat kepuasan masyarakat tinggi terhadap pemerintahan sebelumnya di suatu daerah, para kandidat dapat menyoroti pencapaian yang telah dicapai oleh pemerintah sebelumnya dan berjanji untuk melanjutkan kebijakan yang berhasil serta memperbaiki hal-hal yang masih perlu ditingkatkan.
Disisi lain, jika tingkat kepuasan masyarakat rendah atau terdapat ketidakpuasan yang signifikan terhadap pemerintahan sebelumnya, para kandidat dapat menyoroti kelemahan dan masalah yang ada dalam pemerintahan sebelumnya serta enarik bagi pemilih.
Oleh: M.Yusuf.A, SH Alumni HMI cabang Jakarta