Suaraindo.id – Anggota Komisi II DPR RI, Dr. (HC) Cornelis, menekankan pentingnya keterlibatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam menyelesaikan konflik pertanahan antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Hal ini diungkapkan menyusul keluhan warga tiga desa di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, yang merasa hak-hak mereka dirampas oleh perusahaan sawit, terutama Mukti Group, yang diduga melakukan penyerobotan tanah dan merusak lingkungan.
Urgensi Penyelesaian Konflik Agraria
Cornelis menggarisbawahi bahwa penyelesaian konflik agraria sangat mendesak untuk mencegah ketegangan antara masyarakat dan perusahaan. “Banyak Hak Guna Usaha (HGU) yang mencakup perkampungan dan tanah milik warga yang statusnya belum jelas,” katanya. Ia menekankan bahwa proses penyelesaian masalah pertanahan harus segera dilakukan agar hak-hak masyarakat dihormati, dan tidak terjadi kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan tanah mereka.
Dugaan penggelapan pajak dan penyimpangan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan sawit semakin memperburuk situasi. Cornelis mengajak Kementerian ATR/BPN untuk bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam menangani permasalahan yang dihadapi masyarakat yang tinggal di area hutan produksi. “Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan konflik ini dan memastikan hak-hak masyarakat terlindungi,” tambahnya.
Aspirasi Warga Terkait Kebijakan Pemerintah
Warga tiga desa di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, menyambut baik komitmen Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk bertindak tegas terhadap perusahaan kelapa sawit yang nakal. M. Sandi, Ketua Koperasi Pangkat Longka Ketapang Sejahtera, mengungkapkan bahwa Mukti Group diduga telah menyerobot tanah rakyat seluas 70 hektar dan merambah hutan HPK, serta terlibat dalam penggelapan pajak. Warga meminta agar izin operasional perusahaan tersebut dicabut untuk melindungi hak mereka.
Analisis Masalah dan Tindakan Perlu
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Bellicia Angelica, mengungkapkan bahwa potensi penerimaan negara rata-rata hilang sebesar Rp22,83 triliun per tahun akibat penghindaran pajak oleh perusahaan kelapa sawit. Bellicia menyebutkan tiga permasalahan utama dalam industri kelapa sawit: korupsi, penghindaran pajak, dan manipulasi data perdagangan.
“Perlu adanya transparansi dalam tata kelola persawitan, penguatan sawit rakyat, perlindungan hutan alam yang tersisa, dan kebijakan yang kredibel untuk memastikan industri sawit memberikan dampak signifikan bagi pendapatan daerah dan masyarakat,” ujarnya.
Tantangan dalam Tata Kelola dan Regulasi
Bellicia menambahkan bahwa masalah korupsi di industri sawit terjadi karena kurangnya desain tata kelola yang terintegrasi antara kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah. “Regulatory state capture, yaitu pemberian izin kepada korporasi melalui intervensi kebijakan pemerintah, serta adanya patron politik di dalam korporasi sawit, semakin memperburuk situasi ini,” jelasnya.
Sebelumnya, Presiden terpilih Prabowo Subianto telah bertekad untuk mengejar para pembangkang pajak yang merugikan negara. Kabarnya, sekitar 300 pengusaha belum memenuhi kewajiban pajak, dengan total tunggakan mencapai Rp300 triliun, sebagian besar berasal dari sektor perkebunan sawit.
Harapan untuk Masa Depan
Dengan langkah-langkah yang tepat dari pemerintah dan dukungan lembaga legislatif, diharapkan konflik ini dapat diselesaikan secara damai dan menguntungkan bagi semua pihak. Komitmen untuk melindungi hak-hak masyarakat dan menyelesaikan konflik agraria menjadi kunci untuk menciptakan suasana yang kondusif antara masyarakat dan perusahaan, serta menjaga kelestarian lingkungan di Kalimantan Barat.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS