Kisruh Bukti di Kasus Dugaan Korupsi Tol Jambi–Betung: SK Menteri yang Sudah Dibatalkan Masih Jadi Senjata Hukum

  • Bagikan
Foto Deputy K MAKI Sumsel, Ir. Feri Kurniawan (SuaraIndo.id/Dok WNA)

SuaraIndo.id – Sengkarut hukum mengemuka dalam persidangan kasus dugaan pemalsuan dokumen yang berindikasi korupsi terkait ganti rugi lahan pembangunan Tol Jambi–Tempino–Betung, Sumatera Selatan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai mengandalkan bukti yang status hukumnya sudah batal demi hukum.

Kasus ini menyeret dua terdakwa, Yudi dan Amin, yang oleh jaksa dianggap memalsukan dokumen kepemilikan lahan di kawasan hutan produksi terbatas Dangku 1 dan Dangku 2, Kabupaten Musi Banyuasin.

Dakwaan jaksa bertumpu pada dua Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan: SK Nomor 76 Tahun 2001 dan SK Nomor 822 Tahun 2013.

Namun, fakta di luar persidangan menunjukkan kedua SK tersebut telah dianulir melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 6600 yang merevisi penetapan kawasan hutan di wilayah itu.

Artinya, dua SK yang dijadikan alat bukti formil jaksa seharusnya sudah tak lagi memiliki kekuatan hukum.

“Kalau SK sudah dibatalkan, maka dasar bukti formilnya gugur. Apalagi ini perkara pidana, asas non-retroaktif harus dihormati,” ujar seorang praktisi hukum yang mengikuti perkara ini, Rabu pekan lalu.

Tidak hanya soal dasar hukum, proses pembuktian di lapangan pun dipertanyakan.

Hingga sidang berjalan, majelis hakim belum pernah memerintahkan pemeriksaan fisik terhadap objek perkara yakni lahan sawit yang dipersoalkan. Tanpa sidang lapangan, bukti materil sulit diverifikasi.

Dalam dakwaannya, JPU menilai ada pertentangan antara isi konsideran kedua SK Menteri dan keterangan terdakwa di Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Kontradiksi ini, menurut jaksa, cukup untuk menduga adanya pemalsuan.

Namun, tanpa mempertimbangkan fakta bahwa SK tersebut sudah dicabut, logika hukum dakwaan menjadi rapuh.

Deputi Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Feri Kurniawan, menyebut persoalan ini sebagai “buah busuk” dari lemahnya tata kelola data negara.

“Carut marut sistem pendataan di kementerian, ditambah sulitnya akses data publik, adalah problem klasik.

Dalam kasus seperti ini, orang bisa saja terjerat bukan karena kesalahan niat jahat, tapi karena tumpang tindih dokumen,” kata Feri. Kamis (7/8/2025).

Ia mengingatkan majelis hakim agar cermat menimbang unsur formil dan materil perkara.

“Beberapa unsur tindak pidana bahkan belum diuji tuntas di persidangan. Hakim sebaiknya jeli, karena ini bukan sekadar soal bukti, tapi soal asas keadilan,” ujar Feri menutup pernyataannya.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan