Suaraindo.id – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Ketapang kembali jadi sorotan. Hasil monitoring Satuan Tugas (Satgas) MBG mengungkap sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) penyedia makanan ternyata masih beroperasi tanpa dokumen legal yang seharusnya menjadi syarat utama.
Kepala Satgas MBG Ketapang, Rajiansyah, membenarkan temuan tersebut. Menurutnya, ada penyedia yang belum memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS), maupun sertifikat halal.
“Iya benar, ada beberapa SPPG di Ketapang yang belum memiliki NIB, belum memiliki SLHS, dan belum mengurus sertifikasi halal,” kata Rajiansyah dalam konferensi pers, Rabu (24/9/2025).
Padahal, kata dia, standar laik higiene dan sanitasi adalah syarat mutlak dapur MBG sebelum beroperasi, termasuk sistem pengelolaan limbah yang masih diabaikan sebagian penyedia. “Standarnya kan memang harus ada. Kami Satgas MBG Ketapang mendorong dapur-dapur ini segera mengurus izin-izin tersebut,” ujarnya.
Namun, kondisi ini memicu kritik tajam dari praktisi hukum. Jakaria Irawan, S.H., M.H., menilai penyelenggaraan program MBG di Ketapang sarat pelanggaran hukum.
“Fakta bahwa beberapa SPPG tidak memiliki NIB jelas bentuk pelanggaran hukum. Kondisi ini bisa membuat status mereka berpotensi didiskualifikasi secara hukum, sehingga risiko terhadap keseluruhan program pun tidak dapat dihindari,” tegasnya.
Jakaria menambahkan, tanpa SLHS, keamanan pangan tidak bisa dijamin. Apalagi sebelumnya sudah muncul dugaan kasus keracunan siswa penerima MBG. Hal itu, menurutnya, dapat dikategorikan sebagai kelalaian serius dengan implikasi hukum berat.
Ia juga menyoroti absennya sertifikasi halal sebagaimana diatur dalam UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. “Ini bukan sekadar administratif, tapi menyangkut kepercayaan publik. Program yang menyasar anak-anak sekolah seharusnya dijalankan dengan penuh kehati-hatian,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menegaskan, pengelola dapur maupun yayasan penyelenggara MBG bisa dimintakan pertanggungjawaban hukum, mulai dari Pasal 1365 KUH Perdata (perbuatan melawan hukum), Pasal 205–206 KUHP (tindak pidana yang membahayakan kesehatan umum), hingga Pasal 86–89 UU Pangan terkait sanksi administratif maupun pidana.
Tidak hanya penyelenggara, pemerintah daerah pun disebut memiliki tanggung jawab hukum. “Jika pemda lalai mengawasi, itu bisa dikategorikan sebagai maladministrasi. Masyarakat bahkan berhak melapor ke Ombudsman,” ujarnya.
Jakaria juga mempertanyakan peran Satgas MBG yang dinilai baru bereaksi setelah muncul kasus keracunan. “Harusnya mereka mengawasi sejak awal, mulai dari perizinan hingga proses produksi. Fakta bahwa SPPG tanpa izin dibiarkan, sementara biaya pengobatan korban justru ditanggung pemda, menimbulkan tanda tanya besar soal tanggung jawab,” pungkasnya.
Ia mendesak agar seluruh SPPG segera memenuhi izin usaha dan sertifikasi wajib, disertai evaluasi menyeluruh mekanisme pengadaan serta pengawasan ketat. “Kalau tidak, potensi sanksi hukum, hilangnya kepercayaan publik, hingga kerugian negara akan terus menghantui program MBG di Ketapang,” tandasnya.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS