Dualitas Fungsi Hukum dalam Kebijakan Anggaran

  • Bagikan

Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Berdasarkan data dari covid19.go.id per 20 Juli 2021, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia sebesar 2.950.058 orang, jumlah sembuh 2.323.666 orang, dan 76.200 orang meninggal dunia. Grafik persebaran Covid-19 di Indonesia sendiri mengalami peningkatan signifikan dalam kurun waktu sebulan terakhir.

Sementara itu, dilansir dari data vaksin.kemkes.go.id per 20 Juli 2021, jumlah orang yang telah mendapatkan vaksinasi dosis 1 sebesar 42.611.602 orang atau 20.46% dan dosis vaksinasi 2 sebesar 16.606.675 orang atau baru sebesar 7.97% %. Jumlah ini masih jauh dari target herd imunity atau kekebalan komunal sebesar 70-80 %.

Vaksinasi sendiri merupakan bagian integral dari upaya pengentasan Covid-19. Selain vaksinasi, internalisasi protokol kesehatan menjadi poin kunci lainnya. Konkretnya, pandemi Covid-19 akan dapat dientaskan dengan terwujudnya herd imunity melalui vaksinasi serta implementsi secara masif kepatuhan protokol kesehatan.

Substansi protokol kesehatan sendiri terdiri atas: menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan. Menurut data survei dari Parameter Politik Indonesia yang dirilis pada Februari lalu, tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia terhadap protokol kesehatan Covid-19 terbilang masih sangat rendah, yakni sebanyak 54,8 %. Artinya, hanya sebesar 54,8 % masyarakat Indonesia yang mematuhi protokol kesehatan Covid-19.

Melihat kondisi tersebut, maka survival Covid-19 di Indonesia diprediksi masih akan eksis dalam jangka waku yang lama. Oleh karena itu, selain pengentasan problem kesehatan, jaring-jaring pengaman sosial-ekonomi juga harus menjadi perhatian. Tidak hanya dalam kerangka substansi tetapi juga eksekusi-implementasi.

Presiden Jokowi, saat memberi arahan kepada Kepala Daerah se-Indonesia pada Senin, 19 Juli 2021, menyampaikan 4 empat poin penting terkait aspek jaring-jaring pengaman sosial-ekonomi. Pertama, anggaran UMKM untuk seluruh daerah ada Rp 13,3 triliun, yang dipakai baru Rp 2,3 triliun. Kedua, perlindungan sosial ada anggaran Rp 12,1 triliun. Realisasi baru Rp 2,3 triliun, belum ada 20%.

Ketiga, dana desa Rp 72 triliun yang dipakai untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) desa totalnya Rp 28 triliun. Sedangkan realisasinya baru Rp 5,6 triliun. Keempat, dengan kondisi seperti ini, percepatan realisasi anggaran sangat diperlukan dan dinantikan oleh masyarakat yang terdampak secara sosial-ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Melihat realitas tersebut, maka secara substansi dan politik anggaran sebenarnya jaring-jaring pengaman sosial-ekonomi telah memiliki keberpihakan kepada rakyat kecil. Hanya saja, problematikanya terletak pada eksekusi anggaran. Hal ini terkait dengan birokrasi anggaran dan sistem administrasi. Atau bisa juga terkait dengan faktor korupsi, sehingga proporsi anggaran yang cair tidak sama sebagaimana yang dianggarkan.

Dalam konteks ini, hukum mengejawantah sebagai administracy regulacy yang mengatur mengenai prosedur dan tata cara terkait realisasi dan eksekusi jaring-jaring pengaman sosial-ekonomi dari tingkat pusat hingga daerah. Jika faktor penghambat realisasi anggaran adalah faktor birokrasi dan sistem administrasi anggaran yang ‘ribet’, maka perlu dilakukan diskresi melalui kepemimpinan yang progresif-visioner serta perubahan hukum terkait sistem regulasi administrasi anggaran, agar tidak menjadi preseden di kemudian hari. Konkretnya, faktor esensial jangan dikesampingkan hanya karena faktor legalitas-formal.

Kemudian, jika faktor yang menghambat realisasi anggaran adalah faktor korupsi, maka diperlukan upaya preventif dan represif terkait sistem pemberantasan korupsi yang konsekuen. Jika di atas, hukum mengejawantah sebagai sistem regulasi, maka di sini hukum mengejawantah sebagai alat kontrol dan alat penyelesai masalah (dengan sanksi) bagi perbuatan-perbuatan yang menghambat realisasi dan eksekusi anggaran.

Artinya, di sini hukum memiliki peran penting terkait legalitas politik anggaran hingga proses realisasi dan eksekusi anggaran. Hukum harus berperan secara tegas dan konsekuen sebagai alat kontrol dan penyelesai masalah. Di sisi lain, hukum harus mampu fleksibel dan progresif sebagai sistem regulasi-administratif realisasi dan eksekusi anggaran.

*Penulis adalah Pegiat Hukum Indonesia

  • Bagikan