Suaraindo.id – Hutan menjadi sumber penghidupan masyarakat yang berdiam di sekitarnya, pengelolaan hutan khususnya kawasan hutan lindung sejatinya harus mampu menyandingkan antar kebutuhan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
“Karena yang diperhatikan bukan hanya soal konservasi saja, tapi ada kehidupan, ada masyarakat yang berdiam di sekitar bahkan dalam kawasan hutan lindung yang juga harus berdaya,” ujar Kepala Seksi Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Kapuas, Irwan Valentinus Sihotang, di Pontianak.
Masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung kata dia merupakan garda terdepan dalam menjaga hutan lindung sehingga dalam konteks keberlanjutan, masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam menjaga kawasan hutan.
“Mendukung upaya mengatasi lahan kritis di kawasan hutan lindung tentunya dibutuhkan keterlibatan para pihak,” ucapnya.
Berdasarkan penyusunan data lahan kritis tahun 2018, Irwan mengatakan dari total 2,3 juta hektar lahan yang ditetapkan sebagai hutan lindung di Kalimantan Barat, 7.608 hektar masuk kategori sangat kritis dan 242.155 hektar kategoti kritis. Selain itu ada kategori agak kritis dan potensial kritis yang cukup luas.
“Kriteria untuk menghitung luas lahan kritis yaitu dengan parameter tutupan lahan, erosi dan kehilangan tanah,” jelasnya.
Sejak lama pemerintah sudah melakukan upaya rehabilitasi hutan lahan (RHL) kritis, dan berdasarkan data BPDASHL, tahun 2017 sudah dilakukan rehabilitasi hutan lindung seluas 760 hektar dan 170 hektar kawasan mangrove. Tahun 2018 seluas 382 hektar, dilanjutkan tahun 2019 seluas 11.000 hektar 1.325 hektar pada 2020.
“2021 pandemi covid 19 dan upaya rehabilitasi hutan dan lahan tidak diagendakan,” jelasnya.
Sejauh ini menurut dia, kendala dalam proses RHL adalah kondisi lahan terutama hutan lindung yang sudah ada aktivitas ekonomi masyarakat dan menyangkut kepemilikan dalam pengelolaan lahan karena masyarakat sudah lebih dulu ada dan berdiam dan beraktivitas di wilayah tersebut jauh sebelum wilayah itu ditetapkan sebagai hutan lindung.
“Ini tantangan dalam upaya rehabilitasi dan harus dikomunikasikan dengan baik bersama masyarakat dan stakeholder yang konsen terhadap upaya rehabilitasi,” ujarnya.
Salah satu yang dilakukan kata dia adalah dengan komunikasi dan pelibatan masyarakat setempat, selain itu juga dalam pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam di areal RHL melalui proses assessment dengan memerhatikan manfaat tanaman untuk masyarakat di sekitarnya.
“Pilihan tanaman penting, karena nanti masyarakat setempatlah yang merasakan manfaatnya, seperti tanaman jengkol, petai, dan aneka buah-buahan yang memiliki nilai ekonomis tanpa harus merusak hutan,” imbuhnya.
Dia berharap kedepan akan semakin besar kesadaran dari semua pihak untuk turut serta menjaga kelestarian hutan dan bisa memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat disekitarnya.
“Terutama dari aspek ekonomi, dan harapannya tumbuh kesadaran bersama pentingnya menjaga kelestarian kawasan hutan,” pungkasnya.