20 Tahun Jadi Pemulung, Perdi Tak Pernah Tersentuh Bantuan Pemerintah

  • Bagikan
Ilustrasi warga bekerja sebagai pemulung. (Foto : net)

“Perdi terpaksa jadi bekerja sebagai pemulung karena tidak ada pilihan lain,”

“Asosiasi Pekerja Pemulung DIY minta pemerintah lakukan penataan dan pembinaan terhadap pemulung,”.

Suaraindo.id – Sejak dekade 90-an, banyak ditemukan warga asal luar kota Yogyakarta berlabuh ke daerah pinggiran ibu kota dengan menyambung hidup sebagai pemulung.

Menjadi pemulung bukanlah pilihan menyambung hidup sesungguhnya, namun dikarenakan tidak punya pilihan.

Salah seorang pemulung, Pardi (57) mengaku menjadi pemulung sejak dua puluh tahun terakhir. Warga rantau asal Jawa Tengah itu, memilih menjadi pemulung dikarenakan faktor kemiskinan dan sempitnya lowongan pekerjaan untuknya. Sedangkan keluarga mau tidak mau harus dinafkahi.

“Sebelum saya mengadu nasib di kota Yogyakarta, saya bertahan hidup dengan bertani di kampung halaman.

Namun menanam cabai dan sayuran tak berbuah hasil maksimal. Panen yang saya harap, nyatanya tak bisa menutup biaya operasional dan pengeluaran harian, lantas usaha saya pun gulung tikar,” kata Pardi saat diwawancarai, Jumat (3/1/2025).

Setelahnya, Pardi meninggalkan keluarga untuk mencoba pekerjaan lainnya yang dianggap mampu mentuntaskan biaya kehidupan sehari-hari. Ternyata, setibanya di Yogyakarta, Pardi tidak menemukan pekerjaan yang cocok, dikarenakan faktor relasi dan tamatan yang sangat minim.

“Saya tidak punya tamatan sekolah apapun, hanya modal tekad dan niat. Saya juga tidak mengenal kota Yogyakarta, apalagi punya relasi. Akhirnya saya melihat ada orang memulung, saya coba ikut saja,” ungkapnya.

Pardi beroleh tempat tinggal di salah satu kampung padat penduduk, berkat uluran tangan dari pengepul barang rongsokan, yang kemudian menjadi bosnya. Saban hari, Pardi mesti setor sampah yang punya nilai jual demi tetap diberi tempat untuk berteduh.

Dan akhirnya, Pardi pun mengajak istri dan dua anaknya untuk bertempat tinggal di Yogyakarta. Dengan kondisi demikian, mereka tinggal di rumah pemilik pengepul barang rongsokan.Tempat tinggal baru mereka tak kalah kumuhnya dan sama-sama mengundang kesan ironi. Tempat tinggal itu hanya berjarak lebih kurang 500 meter dari pusat modernitas, semisal gedung bertingkat macam pusat perbelanjaan, apartemen, hotel, dan kampus.

“Ya saya ucapkan syukur saja kepada Allah SWT. Ini mungkin pilihan yang tepat dan saya yakin, ini jalan saya untuk nafkahi keluarga saya,” beber Pardi.

Selama 20 tahun, Pardi belum sedikit pun mencicipi bantuan pemerintah, mulai dari program keluarga harapan, kartu sembako, dan bantuan sosial lainnya. Begitu pun di masa pandemi yang lalu.

“Belum ada satu bansos dari pemerintah yang saya. Bisa dibilang, saya memang bukan warga Yogyakarta, tetapi saya ingin mendapatkan bantuan pemerintah, buat nambah menyambung hidup,” katanya.

Bergantung hidup sebagai pemulung nyaris dijalani setengah dari umurnya, dan menjadikan ‘keahlian’ memulung jadi satu-satunya yang ia punya.

“Walaupun jelek kerjaannya, yang penting halal. Kalau kerja yang lain-lain saya kan sudah gak bisa. Tenaganya sudah tua, sudah gak bisa angkat berat, memikul gak bisa, apalagi kerja lain,” urainya.

Pardi berharap, Pemerintah Kota Yogyakarta memperhatikan nasibnya, terlebih dalam berupaya memperoleh bantuan.

“Saya orang miskin, dan hanya menggantungkan hidup sebagai pemulung. Kalau hari ini tidak memulung, maka saya dan keluarga saya tidak bisa makan apa-apa. Kalau ada bantuan dari Pemerintah seperti sembako, pastinya meringankan beban saya, walau tidak rutin,” pungkasnya.

Asosiasi Pekerja Pemulung DIY menyampaikan tanggapannya, selain dijangkau bantuan dari pemerintah, pemerintah seharusnya sadar bahwa peran pemulung adalah bahagian penting dalam ekosistem pengelolaan sampah.

“Posisi pemulung sebagai kelompok yang rentan perlu diberdayakan. Tak hanya dijangkau bantuan sosial pemerintah, mendesak juga mereka memperkuat mereka sebagai bagian penting dalam ekosistem pengelolaan sampah. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama dari semua pemangku kepentingan,” ungkap Ketua Asosiasi Pekerja Pemulung DIY, Susanti.

Bekerja sebagai pemulung bukan pilihan hidup. Namun, semua faktor yang tidak mendukung dalam upaya mencari pekerjaan lainnya membuat rekan-rekan pemulung harus bekerja sebagai pemulung. Dan hasilnya bisa buat menyambung hidup. Banyak warga akhirnya terdorong untuk ikut menjadikan sampah sebagai ladang mencari nafkah, ketika pada masa krisis ekonomi. Sampah dijadikan sebagai sumber dayanya.

“Tidak ada yang bercita-cita sebagai pemulung sejak awal. Akan tetapi, karena keterbatasan pendidikan atau SDM nya, membuat kita terbentur dan bekerja sebagai pemulung.”

“Dari sampah saja bisa menghasilkan uang, peluang itu yang terlihat. Satu jam mencari sampah bisa dapat satu liter beras. Enggak ada yang nyuruh. Yang penting dapat beras seliter. Satu jam dapat satu liter beras, udah tenang,” ungkap Santi.

Selama beberapa dekade pekerjaan pemulung diabaikan oleh skema pengelolaan sampah resmi, dan kebijakan sampah berulang kali memperburuk keadaan melalui pengucilan, kriminalisasi, atau penindasan terhadap para pemulung.

“Ya itu bahagian dari resiko bekerja sebagai pemulung, stigma negative masih melekat bagi kebanyakan masyarakat secara awam. Meskipun pembinaan pemulung sudah diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, sebagai bagian dari strategi peningkatan kinerja penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah Tangga, tetapi hal itu belum diatur secara mendetail.

Santi menambahkan, langkah awal pembinaan pemulung oleh pemerintah daerah adalah mendata pemulung setempat. Setelah terdaftar, pemerintah daerah bisa memberikan pengakuan kepada pemulung sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah dengan memberikan identitas, alat pelindung diri, dan seragam, bahkan pembinaan.

”Ini supaya pemulung bisa bekerja tanpa ketakutan dan dikejar-kejar,” pungkasnya.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan