Gaprindo Dorong Edukasi dan Pengawasan Ketat Cegah Anak Jadi Perokok, Waspadai Ancaman Rokok Ilegal

  • Bagikan
Bahaya Merokok.SUARAINDO.ID/SK

Suaraindo.id – Mencegah anak-anak menjadi perokok merupakan tanggung jawab bersama, yang tak hanya dibebankan kepada orang tua, sekolah, dan pemerintah, tetapi juga kepada produsen rokok. Hal ini menjadi perhatian serius Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), yang menekankan pentingnya pendekatan edukatif dan pengawasan ketat dibanding sekadar pembatasan informasi pada kemasan produk.

Ketua Umum Gaprindo, Benny Wachjudi, menyatakan bahwa pembatasan melalui penyeragaman kemasan tanpa identitas merek bukanlah solusi efektif. Justru, pendekatan yang bersifat edukatif dan kolaboratif dinilai lebih relevan dalam menurunkan prevalensi merokok, terutama di kalangan anak dan remaja.

“Pembatasan kemasan bukan solusi. Kami percaya pendekatan edukasi dan pengawasan terhadap penjualan kepada anak di bawah umur jauh lebih efektif,” ujar Benny dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (25/6/2025).

Sebagai bentuk nyata komitmen industri terhadap pengendalian konsumsi tembakau, Gaprindo telah meluncurkan situs www.cegahperokokanak.id serta proyek percontohan edukasi kepada peritel di kawasan padat penduduk Jakarta. Kampanye ini juga diperkuat dengan distribusi poster edukatif yang bekerja sama dengan asosiasi ritel dan kolaborasi media sosial.

Prevalensi perokok di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang. Sebanyak 7,4% di antaranya berasal dari kelompok usia 10–18 tahun. Sementara itu, data GYTS 2019 mencatat kenaikan perokok di usia sekolah (13–15 tahun) dari 18,3% pada 2016 menjadi 19,2% pada 2019. Kelompok usia 15–19 tahun tercatat sebagai kelompok perokok terbanyak, yakni 56,5%, disusul usia 10–14 tahun sebesar 18,4%.

Di sisi lain, kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa merek juga mendapat sorotan tajam dari pelaku industri dan pakar ekonomi. Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, menilai kebijakan tersebut bisa berdampak buruk secara luas terhadap industri tembakau, mulai dari sektor hulu seperti petani cengkeh dan tembakau, hingga percetakan dan perdagangan kertas.

INDEF memperkirakan potensi kerugian ekonomi akibat kebijakan tersebut bisa mencapai Rp308 triliun. Ini mencakup seluruh rantai pasok industri tembakau dari hulu hingga hilir.

Lebih jauh, Benny Wachjudi juga menyoroti potensi lonjakan rokok ilegal sebagai dampak langsung dari regulasi ketat yang membatasi identitas kemasan. Ia mengungkapkan bahwa peredaran rokok ilegal meningkat tajam, dari 253,7 juta batang pada 2023 menjadi 710 juta batang pada 2024.

“Rokok ilegal ini musuh kita bersama. Regulasi ketat yang tidak diiringi pengawasan justru bisa memperbesar pasar rokok ilegal,” tegasnya.

Rokok ilegal, lanjut Benny, tidak hanya merugikan industri dan petani tembakau, tetapi juga mengancam penerimaan negara. Pada 2024, penerimaan dari cukai hasil tembakau tercatat mencapai Rp216,9 triliun atau 72% dari total penerimaan kepabeanan dan cukai.

Gaprindo berharap agar upaya pengendalian konsumsi tembakau dapat dilakukan secara proporsional, berimbang antara perlindungan kesehatan dan keberlangsungan sektor industri legal.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan