Suaraindo.id – Kabupaten Ketapang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan konsentrasi perkebunan kelapa sawit terbesar di Kalimantan Barat. Data lokal mencatat, luas areal sawit mencapai sekitar 650.000 hektar, dengan 220.281 hektar di antaranya dikelola petani. Sebanyak 76 perusahaan tercatat beroperasi di wilayah ini — sebuah angka yang mencerminkan dominasi industri sawit.
Namun, di balik angka fantastis itu, kesejahteraan masyarakat tak kunjung terwujud. Konflik agraria, kriminalisasi warga, kemitraan yang merugikan petani, hingga infrastruktur yang memprihatinkan masih menjadi kenyataan pahit.
Infrastruktur: Jalan Rusak di Tengah Lautan Sawit
Data Dinas PUPR Ketapang tahun terakhir mencatat, lebih dari 1.200 km jalan kabupaten berada dalam kondisi rusak atau rusak berat. Ironisnya, sebagian besar jalur rusak tersebut berada di wilayah yang dikelilingi kebun perusahaan raksasa.
Jalan-jalan desa yang menjadi akses warga dan jalur distribusi hasil pertanian berubah menjadi kubangan lumpur saat hujan, dan berdebu pekat saat kemarau. Di beberapa titik, badan jalan bahkan nyaris terputus, memaksa warga menggunakan perahu atau jalur memutar yang lebih jauh.
“Setiap hari truk perusahaan lewat dengan muatan sawit puluhan ton, tapi tidak ada kontribusi untuk perbaikan jalan desa kami. Sementara kami, warga, yang menanggung kerusakan,” ujar Suyanto, warga kecamatan Sungai Melayu.
Konflik Pelanjau Jaya: Warga Terjepit di Tengah Sawit
Kasus di Desa Pelanjau Jaya, Kecamatan Marau, menjadi potret ketimpangan tersebut. Warga mengaku tanah adat mereka dikuasai perusahaan tanpa kepemilikan HGU yang jelas. Pertemuan tingkat kabupaten sempat dilakukan untuk meredam ketegangan, namun belum memberi solusi tuntas.
Tokoh masyarakat Pelanjau Jaya, Mukip, menegaskan:
“Kami hidup di tengah kebun perusahaan, tapi tak pernah merasakan manfaatnya. Saat tanah kami dipersoalkan, yang datang justru aparat dan manajer perusahaan — bukan solusi untuk keadilan.”
Seorang warga, Kila, mengaku hanya menjadi “penonton” di tanah sendiri:
“Nama kami dipakai di dokumen resmi, tapi hasilnya dinikmati orang lain. Kami bahkan tak tahu lagi ke mana harus mengadu.”
Kebun Plasma dan Koperasi: Janji Manis yang Berujung Pahit
Skema plasma dan kemitraan koperasi yang seharusnya menjadi pintu kesejahteraan justru dipenuhi praktik curang. Mulai dari masuknya nama KK dari luar desa dalam daftar SK CPCL, hingga warga yang tercatat sebagai anggota plasma tapi tak pernah menerima gaji atau Sisa Hasil Kebun (SHK).
Contoh nyata terjadi pada Koperasi Sejahtera Palma Sejati (SPS) yang bermitra dengan PT. Sandika Nata Palma (SNP), anak perusahaan Minamas Group. Warga mengaku nama mereka tertera dalam SK CPCL, namun bertahun-tahun tak pernah menerima hasil plasma.
“Meskipun nama saya ada di SK, tidak pernah satu sen pun masuk ke tangan. Saya 14 tahun tidak menerima SHK. Kami tidak tahu pembukuannya, semua berjalan di belakang layar,” ungkap Miau, salah satu anggota koperasi.
Dampak: Kesenjangan Ekonomi dan Ketegangan Sosial
Alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi, kehadiran perkebunan sawit memperlebar jurang ketidakadilan. Jalan desa dibiarkan rusak, fasilitas publik minim, dan warga kerap berada di posisi lemah — bahkan terancam kriminalisasi jika menuntut hak.
Tuntutan Warga dan Aktivis
Masyarakat dan aktivis agraria mendesak:
Transparansi dokumen HGU, HGB, SK CPCL, dan daftar penerima plasma.
Pembayaran plasma dan SHK tepat waktu dengan verifikasi independen.
Audit koperasi oleh lembaga independen, dan penindakan hukum bagi pengurus yang terbukti curang.
Peran tegas pemerintah dalam menindak perusahaan tanpa izin dan memastikan kontribusi untuk infrastruktur desa.
Program CSR yang nyata dan diaudit publik: perbaikan jalan, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.
“Kami tidak menolak sawit, tapi kami menolak diperlakukan seperti tamu di tanah sendiri,” tegas Mukip.
Selama model pengelolaan sumber daya alam hanya menguntungkan korporasi dan elite, Ketapang akan terus menjadi kabupaten yang kaya sawit, tapi miskin keadilan dan infrastruktur.