SuaraIndo.id – Beberapa waktu terakhir, dunia pendidikan kembali dihebohkan oleh kasus seorang guru yang dilaporkan wali murid karena dianggap melakukan tindakan tidak menyenangkan terhadap siswa, kasus serupa bukan kali pertama terjadi.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita berulang kali menyaksikan peristiwa di mana pendidik harus berurusan dengan hukum hanya karena menjalankan tugas mendidik dan menegakkan disiplin.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa sosok yang seharusnya dihormati sebagai penjaga moral bangsa justru mudah dikriminalisasi?.
Pertanyaan ini menegaskan bahwa profesi pendidik, yang seharusnya dilindungi oleh negara, kini justru berjalan di tepi jurang ketidakpastian hukum. Dalam situasi ini, salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah dengan percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Guru dan Dosen dalam mengajar.
Guru dan dosen merupakan pilar utama pendidikan nasional. Mereka tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai moral, membentuk karakter, dan membangun nalar kritis generasi muda sekaligus pengawal masa depan bangsa. Di tangan mereka, anak-anak ditempa menjadi manusia berpengetahuan dan berakhlak.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak dari mereka justru menghadapi laporan hukum hanya karena menegakkan disiplin atau menyampaikan pandangan akademik yang kritis.
Selain itu, guru dan dosen sejatinya adalah penjaga peradaban. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi pembentuk karakter, penanam nilai, sekaligus pengawal masa depan bangsa. Di tangan mereka, anak-anak ditempa menjadi manusia berpengetahuan dan berakhlak.
Namun kini, profesi yang semestinya dijunjung tinggi itu seakan kehilangan wibawanya. Pendidik tidak lagi sepenuhnya merasa aman menjalankan tugasnya, karena setiap tindakan bisa saja disalahartikan dan berujung pada laporan hukum.
Padahal, hakikat pendidikan tidak pernah berhenti pada transfer ilmu. Ia menuntut keteladanan, disiplin, dan kadang ketegasan. Dalam konteks ini, teguran atau sanksi edukatif bukanlah bentuk kekerasan, melainkan bagian dari proses pembentukan karakter.
Namun di tengah masyarakat yang kian sensitif terhadap opini publik, dan di era media sosial yang mudah memviralkan potongan peristiwa tanpa konteks, peran pendidik semakin rawan disalahpahami.
“Kini, ruang kelas tidak hanya diawasi oleh tatapan murid, tetapi juga oleh kamera ponsel dan opini dunia maya.”
Kondisi tersebut membuat banyak guru dan dosen merasa serba salah. Bila mereka diam, moral peserta didik bisa terabaikan. Namun jika mereka tegas, ancaman laporan dan tekanan sosial menanti.
Ketegangan inilah yang perlahan mengikis wibawa pendidikan. Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin generasi mendatang tumbuh tanpa menghormati sosok pendidik karena mereka melihat guru tak lagi memiliki otoritas moral di depan publik.
Pendidik di Persimpangan Hukum
Belakangan ini publik kerap dihebohkan oleh kasus guru yang berhadapan dengan hukum akibat laporan dari wali murid. Tuduhan kekerasan, pencemaran nama baik atau pelanggaran etik sering diarahkan tanpa menimbang konteks profesional pendidik (pedagogis). Dalam banyak peristiwa, tindakan tegas pendidik disalahartikan sebagai pelanggaran hukum.
Fenomena ini menjadi cerminan bahwa profesi guru dan dosen kini berada dalam posisi yang rawan, meski peran mereka begitu vital dalam membangun kualitas manusia Indonesia.
Akibatnya, tak jarang saat ini banyak guru akhirnya memilih bersikap pasif, menghindari teguran atau disiplin agar tidak menimbulkan masalah hukum. Padahal, tanpa ketegasan dan otoritas moral, proses pendidikan kehilangan ruhnya.
“Tanpa perlindungan hukum yang tegas, guru dan dosen berpotensi dikriminalisasi saat menjalankan tugas mendidik.”
Guru dan dosen tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan menanamkan nilai moral. Dalam proses itu, mereka kerap dihadapkan pada situasi sulit menegakkan disiplin, memberi sanksi edukatif, atau mengungkap pandangan kritis.
Di tengah perubahan sosial dan derasnya arus opini publik digital, tindakan profesional seperti itu sering disalahpahami dan bahkan dilaporkan ke penegak hukum.
Regulasi Belum Menyentuh Akar Masalah
Secara normatif, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, substansi peraturan tersebut lebih banyak menyoroti persoalan profesionalisme, sertifikasi, dan kesejahteraan. Aspek perlindungan hukum, sosial, serta psikologis bagi pendidik masih belum diatur secara menyeluruh.
Akibatnya, setiap konflik antara guru dan siswa atau antara dosen dan mahasiswa kerap langsung dibawa ke ranah hukum pidana tanpa proses etik atau mediasi terlebih dahulu. Padahal, tindakan pendisiplinan adalah bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan. Ketika disiplin dianggap pelanggaran, otoritas moral guru perlahan terkikis.
“Jika teguran pendidik dipersepsikan sebagai kesalahan, maka kewibawaan dunia pendidikan akan luntur.”
RUU Perlindungan Guru dan Dosen dalam mengajar diharapkan dapat mengisi celah itu. Regulasi baru ini harus memberikan kepastian hukum bagi pendidik, sekaligus menjadi pedoman etika bagi masyarakat dalam memahami batas antara tindakan mendidik dan pelanggaran hukum.
Negara Perlu Hadir Melindungi
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Guru dan Dosen bukan dimaksudkan sebagai perisai absolut bagi pendidik, melainkan kerangka keadilan yang memastikan hak mereka terlindungi tanpa menghapus tanggung jawab profesi.
Regulasi ini penting untuk menjamin kebebasan akademik, melindungi pendidik dari fitnah dan serangan digital, serta menyediakan dukungan hukum dan psikologis bagi mereka yang menghadapi tekanan sosial atau perkara hukum.
Perlindungan yang dimaksud tentu tidak berarti membebaskan pendidik dari tanggung jawab atau kritik. Namun negara wajib memastikan bahwa setiap pendidik memiliki hak atas rasa aman, pendampingan hukum, dan kebebasan akademik dalam menjalankan profesinya.
“Negara tidak boleh absen ketika pendidik diserang. Sebab di tangan merekalah masa depan bangsa dibentuk.”
RUU ini juga harus memuat mekanisme penyelesaian sengketa pendidikan berbasis etika dan pembinaan, bukan semata sanksi hukum. Dengan begitu, tindakan mendidik tetap bisa berjalan dalam koridor profesional, sementara peserta didik dan orang tua memiliki jalur pengaduan yang lebih proporsional.
Menegakkan Marwah Pendidik, Menjaga Masa Depan Bangsa
Guru dan dosen adalah sumber moral bangsa. Jika mereka tidak lagi merasa aman mendidik, maka generasi penerus kehilangan teladan. Oleh karena itu, negara harus memastikan mereka bekerja dengan perlindungan yang adil dan bermartabat.
Legislatif memiliki tanggung jawab sejarah untuk menghadirkan undang-undang yang benar-benar berpihak pada pendidik. Sebab, melindungi guru dan dosen bukan hanya tentang profesi, tetapi tentang menjaga martabat pendidikan itu sendiri
Percepatan pembahasan RUU Perlindungan Guru dan Dosen bukan sekadar agenda legislatif, melainkan wujud penghormatan negara terhadap profesi yang melahirkan peradaban. Karena tanpa pendidik yang aman dan berwibawa, pendidikan hanyalah rutinitas tanpa ruh, dan bangsa kehilangan arah menuju peradaban.
Semoga tulisan ini mewakili aspirasi jutaan guru di Indonesia.
Palembang, Oktober 2025
Penulis
Ichwan Aridanu, S.Pd., M.Pd
Forum Komunikasi Intelektual Pendidikan (FKIP) /Alumnus Pascasarjana Universitas PGRI Palembang
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS













