PT Agro Lestari Mandiri dari Sinarmas Group Terjerat Dua Masalah Besar, Abaikan Plasma dan Serobot Hutan Lindung

  • Bagikan
Ilustrasi. (Suaraindo.id/ist)

Suaraindo.id— Masyarakat Desa Simpang Tiga Sembelangaan, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, menuntut kejelasan dan tanggung jawab dari PT Agro Lestari Mandiri, anak perusahaan Sinarmas Group, yang diduga ingkar terhadap kewajiban membangun kebun plasma 20 persen bagi masyarakat sekitar.

Selain itu, perusahaan juga disebut telah menggarap kawasan hutan lindung, namun hingga kini penegakan hukum mandek. Masyarakat menilai Gakkum KLHK Kalimantan Barat lemah dan tidak transparan dalam menangani kasus tersebut, sehingga mendesak Kepolisian dan Kejaksaan Tinggi Pontianak untuk turun tangan mengambil alih penyelidikan.

Kronologi Awal Masuknya Perusahaan

Berdasarkan catatan warga, PT Agro Lestari Mandiri mulai masuk ke wilayah Kecamatan Nanga Tayap sekitar tahun 2010, melakukan sosialisasi pembukaan lahan berdasarkan surat Bupati Ketapang tahun 2006.

Pada tahun yang sama, Camat Nanga Tayap juga menerbitkan surat kepada lima desa, termasuk Desa Siantau Lembah Hijau, untuk rencana kerja sama dengan perusahaan.

Sejumlah masyarakat kemudian menyerahkan lahan pada tahun 2007, dengan imbalan hanya sekitar Rp550 ribu per hektare. Di Desa Simpang Tiga Sembelangaan saja, sekitar 400 hektare lahan masyarakat diserahkan sisanya pihak perusahaan mengklaim bahwa desa yang membebaskan. Total lahan yang dibuka perusahaan mencapai 1.750 hektare.

Namun hingga kini, masyarakat tidak pernah menerima hasil atau manfaat dari plasma sebagaimana dijanjikan.

Klaim Plasma 20 Persen Diduga Fiktif

Tokoh masyarakat yang juga Kepala Dusun Desa Simpang Tiga Sembelangaan, Sahroni, menyebut klaim perusahaan bahwa kewajiban plasma 20 persen bahkan disebut mencapai 27,7 persen hanyalah angka tanpa bukti nyata.

“Klaim itu fiktif. Sampai hari ini masyarakat tidak pernah menerima hasil dari kebun plasma. Kalau memang sudah ada, di mana lahannya dan diberikan kepada siapa?” ujarnya.

Ia juga menyoroti istilah yang digunakan perusahaan terkait “lahan kepedulian” seluas 100 hektare yang diklaim sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan.

“Tidak ada istilah lahan kepedulian dalam regulasi perkebunan. Yang ada hanya plasma. Jadi jelas ini cara perusahaan mengelabui masyarakat,” tegas Sahroni.

Menurut Sahroni, perusahaan memang pernah memberikan Tanah Kas Desa (TKD) seluas 6 hektare sejak tahun 2015, namun hal itu dinilai sangat kecil dan tidak sebanding dengan luas lahan yang dikuasai perusahaan.

Dugaan Penggarapan Hutan Lindung

Selain persoalan plasma, PT Agro Lestari Mandiri juga diduga membuka sebagian areal dalam kawasan hutan lindung. Kasus ini bahkan sudah pernah dilaporkan ke aparat berwenang, namun hingga kini tidak ada tindak lanjut hukum yang jelas.

“Laporan sudah kami buat, tapi seperti masuk angin. Gakkum KLHK Kalbar diam saja, tidak ada kejelasan. Kami menduga ada pembiaran,” ungkap Sahroni dengan nada kecewa.

Hal ini memperkuat dugaan masyarakat bahwa penegakan hukum terhadap korporasi besar di sektor perkebunan masih tebang pilih dan cenderung melindungi kepentingan perusahaan.

Pandangan Praktisi Hukum: Negara Tidak Boleh Kalah dari Korporasi

Praktisi hukum Jakaria Irawan, SH, MH menilai bahwa kasus seperti PT Agro Lestari Mandiri merupakan contoh lemahnya fungsi pengawasan pemerintah dan penegakan hukum di bidang perkebunan.

“Kewajiban plasma 20 persen bukan sekadar formalitas administratif, melainkan amanat hukum yang tertuang dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Jika perusahaan tidak melaksanakannya, berarti ada pelanggaran hukum yang bisa berimplikasi pidana,” tegas Jakaria.

Menurutnya, bila benar perusahaan juga menggarap kawasan hutan lindung, maka telah terjadi tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

“Negara tidak boleh kalah oleh korporasi. Jika Gakkum KLHK tidak bergerak, maka Kepolisian dan Kejaksaan Tinggi Pontianak wajib mengambil alih untuk memastikan penegakan hukum berjalan,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah dalam menegaskan posisi hukum dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat.

“Pemkab Ketapang tidak boleh diam. Ini menyangkut hak ekonomi masyarakat yang sudah puluhan tahun dirampas,” pungkas Jakaria.

Perjuangan Panjang Masyarakat

Warga Desa Simpang Tiga Sembelangaan sudah berjuang lebih dari satu dekade. Mereka bahkan pernah melapor langsung kepada Wakil Presiden RI untuk meminta keadilan terkait plasma yang tak kunjung terealisasi.

Kini, masyarakat kembali memperjuangkan haknya melalui audiensi resmi yang akan digelar Senin (3/11/2025) di ruang rapat Kantor Bupati Ketapang. Pertemuan ini difasilitasi oleh Wakil Bupati Ketapang dengan menghadirkan pihak perusahaan dan instansi terkait.

Harapan Warga: Hukum Harus Tegak

Masyarakat berharap audiensi tersebut menjadi langkah nyata dalam penegakan hukum dan penyelesaian kewajiban plasma, bukan hanya sekadar formalitas.

“Kami hanya ingin keadilan. Jangan rakyat kecil terus ditipu dengan janji. Kalau memang perusahaan besar itu taat aturan, buktikan. Jangan cuma pandai membuat laporan di atas kertas,” pungkas Sahroni.

Kasus PT Agro Lestari Mandiri menjadi potret buram lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di sektor perkebunan.

Ketika kewajiban perusahaan diabaikan dan aparat penegak hukum terkesan membisu, plasma yang seharusnya menyejahterakan rakyat justru berubah menjadi ilusi, sementara hutan hilang dan masyarakat ditinggalkan.

  • Bagikan