SuaraIndo.id — Kegiatan Haflah Tahfizh Al-Qur’an Program Reguler ke-5 dan Program Khusus Metode Tabarak & Percepatan ke-4 di Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim, Palembang, Minggu (12/10/2025), awalnya berlangsung penuh kekhusyukan.
Acara yang dihadiri tokoh agama, wali santri, dan perwakilan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan itu sekaligus menjadi momentum peletakan batu pertama pembangunan Sekolah Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim.
Namun, suasana yang semula penuh keharuan itu mendadak berubah tegang. Seorang ustadzah berinisial R diduga melontarkan ucapan yang dianggap merendahkan profesi wartawan di tengah jalannya kegiatan. Ucapan itu sontak memicu ketersinggungan sejumlah pewarta yang hadir untuk meliput acara keagamaan tersebut.
“Kami datang untuk menyebarkan kabar baik tentang kegiatan Qur’ani ini, bukan untuk mencari imbalan. Ucapan itu membuat kami merasa dilecehkan,” ujar salah satu jurnalis yang meliput kegiatan tersebut.
Beberapa saksi menyebut, ustadzah R diduga sempat berucap, “wartawan biasanya minta uang,” yang langsung menimbulkan reaksi keras.
Ustadzah R juga menambahkan “kalian sudah dapat berita dapat uang juga, lemak nian,” ujarnya.
Saat dimintai konfirmasi maksud kata-kata yang diucapkannya, ustadzah R semakin menantang dengan kalimat “saya tidak takut dengan media” yang semakin membuat situasi memanas.
Kalimat itu dinilai tidak pantas diucapkan, terlebih dalam forum yang mengajarkan nilai akhlak dan adab.
Mengetahui situasi mulai memanas, pihak pondok segera memediasi dan mengupayakan klarifikasi.
Melalui perwakilannya, Pondok Tahfizh Al-Qur’an Al-Karim menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada para jurnalis.
“Kami mewakili ustadzah R menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya. Ucapan tersebut tidak seharusnya keluar dan tidak mencerminkan sikap lembaga. Kami menghormati wartawan sebagai mitra dakwah,” kata perwakilan pondok dalam pernyataannya.
Meski demikian, situasi belum sepenuhnya reda. Saat para wartawan hendak meninggalkan lokasi, ustadzah R kembali disebut melontarkan kalimat bernada serupa, yang memperkeruh suasana dan membuat sebagian jurnalis mempertimbangkan langkah hukum.
“Bukannya menyesal, justru muncul ucapan baru yang lebih menyakitkan. Kami punya saksi,” ujar seorang jurnalis lain.
Insiden tersebut menimbulkan keprihatinan di kalangan insan pers dan pemerhati pendidikan Islam. Banyak pihak menilai peristiwa itu tidak hanya mencederai profesi wartawan, tetapi juga berpotensi mencoreng nama baik pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga pembentuk karakter dan akhlak Qur’ani.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS