Tambang yang Melampaui Izin: Menelisik 10 Tahun Operasi PT SSM

  • Bagikan
Aktivitas peledakan di lokasi tambang milik PT. SSM di kecamatan Sandai. (Suaraindo.id/ist)

Suaraindo.id — Operasi tambang emas PT Serinding Sumber Makmur (SSM) di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, kembali menjadi sorotan publik setelah DPD Lembaga Monitor Penyelenggara Negara (LMPN) Kalbar melaporkannya ke Satgas Jaksa Agung RI dan Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK).

LMPN menyebut sejumlah kejanggalan serius ditemukan dalam aspek perizinan maupun praktik operasional perusahaan, yang diduga telah berlangsung lebih dari satu dekade.

AMDAL Hanya 10 Hektare, Operasi Diduga Capai 300 Hektare

Dalam dokumen resmi yang dimiliki LMPN, PT SSM tercatat memiliki AMDAL yang diterbitkan pada 2015 oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalbar melalui surat nomor 660.1/48/BLHD-2015. Dokumen tersebut hanya mencakup ±10 hektare area tambang di tiga desa: Petai Patah, Alam Pakuan, dan Demit.

Namun pemantauan lapangan yang dilakukan LMPN menunjukkan aktivitas tambang berlangsung hingga sekitar 300 hektare, atau 30 kali lipat lebih luas dari izin yang diberikan.

“Ada ketidaksesuaian mencolok antara dokumen lingkungan dan kondisi di lapangan. Aktivitas yang melewati batas izin ini harus diusut,” Ketua DPD LMPN Kalbar, M. Sandi.

Dugaan Tidak Memiliki Izin Resmi dari Kementerian ESDM

Temuan lain menyebut PT SSM diduga tidak mengantongi izin inti pertambangan yang wajib diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Menurut LMPN, staf perusahaan mengklaim SSM hanya memiliki perizinan di tingkat provinsi padahal sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, seluruh perizinan pertambangan mineral logam sepenuhnya berada di bawah wewenang pemerintah pusat.

“Jika benar hanya izin provinsi yang dimiliki, maka ada kesenjangan besar antara aturan hukum dan praktek operasional,” ujar Sandi.

Manipulasi WIUP? Hanya 800 Hektare yang Valid

PT SSM mengklaim memiliki WIUP seluas 5.900 hektare. Namun verifikasi LMPN menemukan hanya ±800 hektare yang benar-benar masuk konsesi sah perusahaan.

Sisanya sekitar 5.100 hektare diduga berada di atas lahan milik masyarakat berupa kebun, tanah garapan, dan wilayah adat.

“Informasi luas WIUP harus diuji. Indikasinya kuat bahwa angka yang beredar tidak akurat,” tutur Sandi.

Keluhan Warga: Getaran Tambang hingga Penjagaan Aparat Berseragam

Warga Desa Petai Patah melaporkan getaran kuat yang terasa di rumah setiap kali perusahaan melakukan pengeboran atau pemecahan batuan.

Meski PT SSM disebut tidak memiliki izin penggunaan bahan peledak, aktivitas pengeboran disebut menghasilkan getaran yang mirip dengan operasi peledakan skala kecil.

Selain itu, warga mengaku semakin sulit mengakses kebun mereka yang masuk dalam klaim WIUP. LMPN mencatat keberadaan oknum aparat bersenjata yang menjaga beberapa titik akses.

Potensi Pelanggaran Aturan Penggunaan Bahan Peledak

LMPN juga menyoroti indikasi bahwa PT SSM menggunakan atau memanfaatkan kegiatan pemecahan batuan yang menimbulkan getaran kuat, padahal izin penggunaan bahan peledak diatur ketat oleh negara.

Regulasi bahan peledak yang berpotensi dilanggar:

1. Perkapolri No. 17 Tahun 2017 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Bahan Peledak Komersial

Mengatur bahwa:

Setiap perusahaan tambang yang menggunakan bahan peledak wajib memiliki Izin Penggunaan Bahan Peledak (IPBP).

Pengadaan, penyimpanan, pengangkutan, hingga pemusnahan bahan peledak harus melalui izin Kepolisian RI.

Pengawasan hanya dapat dilakukan oleh personel yang tersertifikasi.

Jika perusahaan tidak memiliki IPBP, semua aktivitas peledakan masuk kategori penggunaan bahan peledak ilegal.

2. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

Mengatur kewenangan polisi untuk mengendalikan dan mengawasi bahan peledak komersial.

3. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba

Mengatur bahwa penggunaan bahan peledak hanya diperbolehkan bagi pemegang IUP Operasi Produksi yang sah.

“Jika perusahaan tidak tercatat sebagai pemegang izin peledak, maka aktivitas yang menghasilkan getaran serupa blasting perlu diselidiki. Ini berpotensi menjadi pelanggaran sangat serius,” ujar Sandi.

Potensi Pelanggaran Regulasi Nasional

Menurut LMPN, sedikitnya ada tiga paket regulasi besar yang berpotensi dilanggar PT SSM:

1. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba

Kewajiban memiliki WIUP, IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, RKAB.

Pasal 158: Sanksi pidana bagi penambangan tanpa izin (penjara hingga 5 tahun + denda Rp100 miliar).

Penggunaan bahan peledak hanya diperbolehkan bagi pemegang IUP OP yang sah.

2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kegiatan harus sesuai AMDAL (luas, lokasi, metode operasi).
Pasal 98–109: Sanksi pidana bagi kegiatan yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan.
3. PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Seluruh perizinan pertambangan mineral logam berada di tangan pemerintah pusat.
Izin provinsi tidak lagi berlaku untuk kegiatan inti pertambangan.

4. Perkapolri No. 17 Tahun 2017 — Izin Bahan Peledak Komersial
Penggunaan bahan peledak tanpa izin merupakan tindak pidana.

LMPN Desak Pemeriksaan Lapangan

LMPN meminta Satgas Kejaksaan Agung RI dan KLHK segera melakukan pemeriksaan lapangan terkait:

Keabsahan seluruh dokumen izin tambang

Penggunaan lahan dan WIUP

Dampak lingkungan

Dugaan penggunaan bahan peledak tanpa izin

Potensi kerugian negara dan sengketa lahan masyarakat

“Ini menyangkut hulu-hilir persoalan: kerugian negara, hak masyarakat, hingga dugaan pelanggaran hukum. Pemerintah pusat harus turun langsung,” tegas Sandi.

Hingga berita ini ditayangkan, PT SSM belum memberikan klarifikasi resmi atas laporan dan temuan LMPN.

  • Bagikan