Suaraindo.id – Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan bahwa tindak pidana penghinaan terhadap presiden dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (RJ) dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Bahkan, menurutnya, pasal tersebut diprioritaskan untuk diselesaikan dengan pendekatan RJ.
“Dengan ini kami sampaikan bahwa kami semua anggota Komisi III lewat para kapoksinya sudah sepakat bahwa tidak benar pengaturan tersebut. Yang benar adalah justru pasal penghinaan presiden memang harus bisa diselesaikan dengan restorative justice,” ujar Habiburokhman dalam konferensi pers di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/3/2025), seperti dikutip dari Beritasatu.com.
Menurutnya, dalam Pasal 77 RUU KUHAP, terdapat pengecualian tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan melalui RJ. Namun, ia mengungkapkan bahwa ada kesalahan redaksi dalam draf RUU KUHAP, yang semula memasukkan penghinaan terhadap presiden sebagai tindak pidana yang dikecualikan dari mekanisme RJ.
“Jadi di Pasal 77 itu rumusannya diubah. Yang benar adalah tidak ada pengecualian terhadap pasal penghinaan presiden di KUHAP,” tandasnya.
Habiburokhman menilai bahwa mekanisme RJ sangat penting dalam penyelesaian tindak pidana penghinaan terhadap presiden. Pasalnya, tindak pidana tersebut sering kali berhubungan dengan pernyataan atau ujaran seseorang yang bisa bersifat multi tafsir.
Ia menegaskan bahwa jika langsung ditindak secara hukum, hal itu bisa berujung pada kriminalisasi terhadap individu yang memiliki perbedaan posisi politik dengan pemerintah.
“Jadi saya sangat paham bahwa memang pasal tersebut harusnya bisa diselesaikan dengan dialog dahulu, dengan mediasi dahulu, dengan restorative justice. Sehingga nggak gampang orang karena perbedaan kepentingan politik, perbedaan posisi politik, dipidana, dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan penghinaan kepada presiden,” jelasnya.
Dalam draf RUU KUHAP, Pasal 77 mengatur bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan dikecualikan untuk sejumlah tindak pidana tertentu, yaitu:
a. Tindak pidana terorisme; b. Tindak pidana korupsi; c. Tindak pidana tanpa korban; d. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali karena kealpaannya; e. Tindak pidana terhadap nyawa orang; f. Tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus; g. Tindak pidana narkoba kecuali yang berstatus sebagai pengguna.
Dengan demikian, penghinaan terhadap presiden tidak termasuk dalam kategori pengecualian tersebut dan akan tetap dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice dalam RUU KUHAP.
Pernyataan Ketua Komisi III DPR menegaskan bahwa tindak pidana penghinaan presiden tidak termasuk dalam daftar pengecualian Pasal 77 RUU KUHAP. Sebaliknya, kasus semacam ini justru didorong untuk diselesaikan melalui mekanisme restorative justice agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap individu yang memiliki perbedaan pandangan politik.
Dengan adanya perubahan ini, diharapkan mekanisme hukum yang lebih adil dan bijaksana dapat diterapkan dalam menangani kasus penghinaan terhadap presiden.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS