SUARAINDO.ID ——- Petani kakao di Desa Bebidas, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, menghadapi tantangan serius menyusul turunnyaa harga kakao kering dari Rp100.000 menjadi hanya Rp40.000 hingga Rp50.000 per kilogram.
Kondisi tersebut diperparah oleh keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan alat pengolahan, sehingga hasil panen belum dapat diolah secara maksimal.
Peyani Kakao Desa Bebidas Sanusi Ardi Wiranata mengungkapkan, para petani masih menjual biji kakao secara konvensional kepada pengepul.
Padahal, wilayah tersebut memiliki potensi besat dengan luas lahan mencapai 50 hektare.
“Kami keterbatasan SDM, dan peralatan pengolahan masih sangat minim, karena kurangnya perhatian pemerintah. Saat ini kami hanya bisa jual biji kering ke pengepul,” ujar Sanusi saat ditemui di kebunnya, Minggu 19 Oktober 2025.
Sanusi menjelaskan, anjloknya harga kakao dipengaruhi oleh perubahan iklim yang menyebabkan penurunan kualitas biji, serta dinamika pasar global.
Meski begitu, tanaman kakao di desa tersebut tetap berproduksi rutin tanpa mengenal musim, dengan masa panen hampir setiap minggu.
“Perubahan iklim berdampak pada kualitas biji. Pasar global juga ikut memengaruhi harga di tingkat petani,” jelasnya.
Di tengah keterbatasan, kelompok tani setempat mulai mengembangkan konsep agrowisata kakao sebagai alternatif sumber pendapatan.
Kebun seluas lebih dari dua hektare, kini rutin dikunjungi wisatawan asing,, yang tertarik melihat langsung proses budidaya dan pengolahan kakao.
”Wisatawan datang bukan hanya untuk melihat, tapi juga belajar memilih biji yang matang, hingga cara membuat minuman dari kakao. Seperti konsep edukasi kopi, tapi ini kakao,” ungkap Sanusi.
Promosi agrowisata dilakukan secara swadaya dengan mengandalkan Google Maps.
Dalam seminggu, kebun tersebut bisa menerima kunjungan hingga tiga kali, baik dari rombongan maupun wisatawan individu.
Para petani nerharap, agar ada intervensi lebih konkret dari pemerintah daerah, khususnya dalam bentuk pelatihan pengolahan kakao, dukungan alat produksi, serta promosi dan pemasaran.
”Kami harapkan pelatihan yang lebih intensif, tidak hanya soal budidaya, tapi juga pengolahan,” ujarnya.
”Kami ingin produk kakao dari Lombok Timur bisa memiliki nilai jual tinggi dan menjadi daya tarik wisata berkelanjutan,” tambahnya.