Suaraindo.id–Generasi baru influencer dunia maya tumbuh di kawasan kumuh Brazil, di mana sebagian orang menunjukkan bahwa realita kemiskinan di sana bukan lagi hal yang harus ditutup-tutupi. Laporan ini menceritakan sejumlah warga yang memutuskan hidup dalam kenyataan.
Aline, orang tua tunggal dengan empat anak, tinggal di daerah pinggiran kota Porto Alegre yang miskin di Brazil Selatan.
Dengan waktu luang yang sempit, media sosial adalah salah satu dari sedikit pengalih perhatiannya. Akan tetapi, profil pengguna medsos yang mencerminkan kehidupan seperti yang ia jalani sulit ia temukan.
Aline mengatakan, “Saya muak melihat gambaran kehidupan yang sempurna. Saya muak karena tak pernah melihat cerminan hidup saya di media sosial. Kita hanya menemukan orang-orang yang menjual citra keluarga yang bahagia dan sempurna.”
Karena ketiadaan gambaran realita itu, Instagram Aline menarik perhatian banyak pengikut. Ia menjadi seorang influencer dunia maya yang membagikan rutinitasnya sebagai seorang ibu yang membesarkan anak-anaknya sendirian.
“Saya sempat malu menunjukkan kondisi rumah saya. Saya tidak mau tampil dengan wajah tanpa riasan. Tapi sedikit demi sedikit saya mulai terbuka menunjukkan kenyataan yang sesungguhnya dan semakin banyak orang yang merasa relevan dengan saya.”
Seiring bertambahnya jumlah follower, berbagai perusahaan dan merk mulai beriklan melalui profil Mae Crespa – akun instagramnya – dan membayarnya.
“Ketika saya selesai dengan pekerjaan yang pertama, saya ingat saya menerima imbalan dan membelikan hadiah untuk anak-anak saya. Saya sangat bahagia. Kami pergi ke bioskop dan berjalan-jalan untuk pertama kalinya. Sekarang saya ingin bisa memberikan lebih bagi keluarga saya.”
Hampir 14 juta warga Brazil bermukim di lebih dari enam ribu favela, alias kawasan kumuh, yang tersebar di seantero Brazil. Ratusan warga favela seperti Aline, kini berubah menjadi sosok-sosok influencer dunia maya.
Platform Digital Favela, yang dibuka tahun ini ketika pandemi, berupaya menjembatani jurang antara industri dengan para influencer digital yang tinggal di daerah miskin.
Guilherme Pierre, pendiri Digital Favela, mengatakan, “Kami ingin meruntuhkan gagasan bahwa influencer dunia maya itu hanya berasal dari kalangan elite, dan menunjukkan bahwa dari kawasan-kawasan kumuh ini terdapat banyak kreator luar biasa dengan konten sesuai kehidupan nyata serta pembuat opini yang dapat menentukan tren.”
Sementara Celso Athayde, pendiri platform Central Unica fas Favelas, menuturkan, “Gagasan awalnya yaitu untuk menciptakan identifikasi. Kita, yang tinggal di favela, tidak akan membeli merk mobil populer, misalnya, yang diiklankan oleh seseorang yang kita tahu hanya bepergian dengan menumpang pesawat. Perusahaan perlu menyediakan ruang bagi orang-orang yang berkomunikasi dengan target pasar mereka.”
Hanya dalam beberapa bulan, Digital Favela telah mendaftarkan lebih dari lima ribu influencer dunia maya. Tujuannya untuk melayani perusahaan-perusahaan yang memberi perhatian khusus pada kawasan-kawasan kumuh, yang diperkirakan memiliki daya beli total mencapai hampir 27 miliar dolar per tahun. [rd]