Suaraindo.id- Begitu disahkan, tiga provinsi baru di Papua langsung mengundang perdebatan. Pemerintah memang menyiapkan segala hal secara baik, tetapi di tingkat masyarakat, wacana tentang daerah pemekaran belum matang. Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua kepada VOA menilai potensi konflik horizontal saat ini adalah sesuatu yang nyata.
“Terus terang, kita semua menerima Daerah Otonom Baru (DOB) itu. Saya termasuk yang mendukung DOB disahkan segera, proses percepatan supaya mengentaskan kemiskinan. Tetapi, kesiapan masyarakat di bawah itu yang bisa berimplikasi menjadi konflik horizontal di antara sesama orang Papua,” kata Ismail, Minggu (10/7).
Ismail mencontohkan, pemerintah menetapkan Nabire sebagai calon Ibu Kota Provinsi Papua Tengah. Sementara Suku Meepago, yang mendiami kawasan tersebut, menginginkan Timika yang menjadi Ibu Kota. Protes sudah disampaikan, dan dikhawatirkan eskalasinya akan terus meningkat jika tidak dikelola dengan baik.
Jika masyarakat adat tidak didengar aspirasinya, tentu saja ada konsekuensinya. Dikatakan Ismail, tanah adat sepenuhnya dimiliki masyarakat adat. Jika pemerintah ingin membangun ibu kota provinsi beserta bangunan dan fasilitas di dalamnya, tentu akan memanfaatkan tanah adat.
“Mereka yang menolak itu pemilik hak ulayat tanah, sehingga sekarang misalnya kantor pemerintah mau ditempatkan di mana? Nah, mau bangun kantor, infrastruktur dan semuanya dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota, itu juga bisa menjadi ada masalah di bawah,” tambahnya terkait potensi konflik kedua.
Potensi konflik horizontal juga bisa muncul terkait penetapan kabupaten mana yang masuk ke satu provinsi tertentu. Ismail menyebut masyarakat Pegunungan Bintang menginginkan tetap masuk sebagai bagian dari Provinsi Papua, atau provinsi induk yang saat ini ada. Sementara rencananya, kabupaten ini akan masuk ke Provinsi Papua Pegunungan.
Potensi konflik antar masyarakat berikutnya, menurut Ismail adalah proses pengisian aparatur sipil negara (ASN) di provinsi baru.
“Orang Papua ini kan dari sisi tingkat pendidikan rendah, sehingga nanti yang akan mengisi posisi itu, akan lebih banyak dari kelompok masyarakat pendatang di Papua. Itu juga berpotensi ke depannya akan melahirkan konflik antara masyarakat dari berbagai wilayah di Nusantara dengan kita, orang Papua,” tandas Ismail.
Padahal, kondisi itu tercipta karena sejak lama akses pendidikan bagi masyarakat Papua memang sulit.
Pemerintah Sisir Potensi Konflik
Dalam diskusi “Pemekaran Sebagai Resolusi Konflik?” yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Rabu (6/7), potensi konflik ini juga dikupas mendalam. Pejabat dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Brigjen TNI Danu Prionggo misalnya, menyebut soal silang pendapat penetapan ibu kota.
“Pasca penetapan Ibu Kota Provinsi Papua Tengah di Nabire dan cakupan wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang menjadi bagian dari Provinsi Papua Pegunungan, terjadi peningkatan eskalasi politik dan keamanan, “ kata Danu.
Dani mengatakan, perwakilan masyarakat Mimika sempat datang ke Jakarta dan menyampaikan penolakan.