![]() |
Aksi solidaritas untuk Diananta, jurnalis Banjarmasin yang dimejahijaukan meski kasusnya telah diselesaikan di Dewan Pers. |
Suaraindo.id – Senin (8/6/2020), Diananta Putera Sumedi alias Nanta, 36 tahun, jurnalis yang bekerja di Banjarmasin diadili di Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru karena pemberitaan. Sebagai bentuk solidaritas, Koalisi Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers menggelar aksi di Bundaran Hotel A, Jalan Pengeran Samudera, Banjarmasin.
Tidak hanya di Banjarmasin, di Kotabaru, aksi serupa dilakukan sejumlah jurnalis dan masyarakat adat di PN Kotabaru. Para demonstran membentangkan spanduk bertuliskan #BebaskanDiananta, massa menuntut agar Diananta dibebaskan.
“Atas nama Undang-undang Pers, kami meminta segala bentuk penuntutan terhadap Diananta dihentikan,” ujar Ketua Bidang Kampanye dan Media Koalisi Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers, Fariz Fadhillah.
Menurut Fariz, kasus tersebut sejatinya telah selesai di Dewan Pers, bukan malah bergulir di penyidik kepolisian hingga ke pengadilan. “Juga atas nama kemanusiaan, kami meminta Nanta segera dibebaskan. Nanta adalah seorang kepala rumah tangga yang harus menafkahi istri dan anaknya,” tegasnya.
Koalisi, kata Fariz, juga menyayangkan penahanan terhadap Diananta. Dia bukan teroris dan bukan pula pelaku kejahatan luar biasa sehingga tidak seharusnya ditahan saat pandemi Covid-19 melanda.
“Padahal, Kapolri sudah menginstruksikan jajaran penyidik untuk selektif menahan tersangka pidana selama pandemi,” bebernya.
Koalisi juga menyampaikan tuntutan kepada Presiden Jokowi dengan meminta untuk tak tinggal diam melihat adanya upaya kriminalisasi pers tersebut. Pers yang bebas dan jujur adalah pilar demokrasi yang keempat setelah yudikatif, legislatif, dan eksekutif, yang bekerja untuk kemashlahatan umat.
Tugas pers mengabarkan kepada masyarakat, memenuhi hak masyarakat untuk tahu, sehingga masyarakat bisa mengolah informasi dan bisa bertindak atau mengambil keputusan yang tepat.
“Karena itu menindas pers, mengkriminalkan jurnalis, itu sejatinya melanggar hak-hak masyarakat, dan bisa jadi awalan untuk menindas hak-hak masyarakat lainnya,” tandasnya.
Selain menggelar aksi di jalan dan di PN Kotabaru, demonstran juga menggalang dukungan di berbagai media sosial. Di laman change.org ada petisi dari istri Nanta, Wahyu Widianingsih yang juga minta suaminya dibebaskan. Sejak dimulai seminggu lalu, sudah 12.000 orang lebih menandatangani petisi tersebut.
“Kami juga mengajak masyarakat untuk mendukung gerakan pembebasan Diananta melalui petisi tersebut. Mari ikut dalam membuat perubahan ke arah yang lebih baik,” kata Fariz lagi.
Kasus Bergulir,
Nanta ditetapkan sebagai tersangka sebab beritanya yang berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel. Konten ini diunggah melalui saluran kumparan/banjarhits.id, pada 9 November 2019 lalu. Diananta menjadi pemimpin redaksi dari media yang bermitra dengan kumparan melalui program 1001 startup media.
Pengadu atas nama Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan. Dia menilai berita itu menimbulkan kebencian karena dianggapnya bermuatan sentimen kesukuan. Pada saat yang sama masalah ini juga telah dibawa ke Dewan Pers. Diananta dan Sukirman datang ke Sekrerariat Dewan Pers di Jakarta, pada Kamis, 9 Januari 2020 lalu guna proses klarifikasi.
Dewan Pers kemudian mengeluarkan lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang berisi bahwa redaksi kumparan.com menjadi penanggungjawab atas berita yang dimuat itu. Bukan banjarhits.id yang menjadi mitranya. Dewan Pers mewajibkan kumparan/banjarhits selaku teradu melayani hak jawab dari pengadu dan minta maaf. PPR diterbitkan Dewan Pers yang terbit 5 Februari 2020.
Dengan demikian, masalah ini selesai. Hak jawab pengadu sebagai kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan versi pengadu sudah diberikan. Media, yaitu kumparan/banjarhits sudah pula meminta maaf dan menghapus berita yang dipersoalkan. Namun PPR Dewan Pers ini tidak dianggap. Penyidikan kepolisian terus berlanjut dengan surat panggilan kedua dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalsel, pada tanggal 25 Februari 2020, hingga penahanan Nanta pada 4 Mei 2020. Polisi menjeratnya dengan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pada 24 Mei, penahanan Nanta dipindahkan ke Kotabaru dan dititipkan di Polres Kotabaru hingga persidangan tanggal 8 Juni 2020. (Rls)