Suaraindo.id – Sembayang kubur atau ziarah (Qing Ming) salah satu untuk mengenang leluhur yang sudah tiada. Sembahyang kubur merupakan tradisi masyarakat Tionghoa mengunjungi dan membersihkan makam leluhur, orang tua atau keluarga.
Selain itu, sembahyang kubur juga menjadi momen berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara.
Seperti warga kalangan etnis tionghoa yang ada diluar pulau kalimantan, disaat sembahyang kubur, mereka pulang untuk sembahyang kubur keluarga yang sudah tiada.
Salah satu warga yang tinggal di Batam sedang berziarah makam keluarga di Tebas Kabupaten Sambas mengatakan, ia sedang sembahyang kubur Eyang,nenek,kakek dan orang tuanya.
“Kebetulan untuk proses pulang seperti saat sekarang,butuh proses pengurusan surat-surat covid-19,namun kami tetap harus pulang,karena sudah suatu tradisi dan untuk mengenang leluhur keluarga dan rasa tanggung jawab kita masing-masing,” ucap Edy warga Tebas yang tinggal di Batam.
Sementara Apo, pengurus Kelenteng Tionghoa di Singkawang, Chin Ming menuturkan, di bulan 7 sedangkan sembahyang kubur pada pertengahan bulan 7 imblek mempunyai suatu sejarah dan tradisi turun temurun,apa lagi di hari ke 15 bulan 7 imblek,warga etnis tionghwa menggadakan upacara ritual rampas sajian di setiap kelenteng/vihara yang ada.
“Sedangkan sembahyang kubur pada pertengahan bulan 7 dimulai dari tanggal 1 sampai 15 kalender Tionghoa. Bulan ke-7 dalam kalender Tionghoa disebut sebagai Bulan Hantu. Pada hari ke-15 atau pertengahan bulan 7 kalender Tionghoa, “kata Apo.
Ia menerangkab, dengan diadakan perayaan untuk memberi makan kepada arwah-arwah yang tidak ada keluarga atau yang ditelantarkan oleh keluarganyaSetiap tahun di bulan 7 imlek dari hari pertama warga etnis tionghua sudah berbondong-bondong untuk berziarah ke makam-makam keluarganya.
“Sampai hari terakhir yaitu hari ke 15 akan diadakan upacara / ritual rebut sajian kalau bahasa hakka (chiong si ku), upacara tersebut mempunyai kisah sejarah, dan makna,” kata Apo.