Vibran Terorisme

  • Bagikan

Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

Terorisme kembali menyerang Indonesia. Bom bunuh diri meledak di depan Gereja Katedral Makassar pada Minggu 28 Maret 2021 yang menewaskan dua orang ‘pengantin’ (pelaku bom bunuh diri) berinisial L dan YSF serta melukai 20 orang. 2 Pelaku bom bunuh diri tersebut merupakan sepasang suami istri dan diduga berafiliasi dengan JAD.

Jika dilihat dari beberapa kasus terorisme 5 tahun ke belakang. Sebenarnya ada satu pola tendensi yang senantiasa berulang terkait tempus terorisme yakni terjadi di saat fokus aparat maupun publik tengah tertuju pada hal lain (penanganan corona). Maka dari itu, pola-pola seperti ini harus menjadi atensi pihak aparat agar kejadian seperti di Makassar tidak terulang kembali.

Terorisme adalah perbuatan biadab yang bertentangan dengan Pancasila, norma agama, norma hukum, maupun nilai kemanusiaan yang beradab. Secara historis, terorisme di Indonesia selalu berkelindan dengan motif distorsi ajaran agama melalui indoktrinasi nilai-nilai ajaran agama yang sarat dengan kekerasan dan non-moderasi.

Terorisme memang bukan merupakan ajaran agama apapun (in abstracto), namun tidak bisa dipungkiri bahwa terorisme ada kaitannya dengan agama. Kaitan agama dengan terorisme tidak merujuk pada ajaran agama secara in abstracto melainkan merujuk pada distorsi terhadap ajaran agama secara in concreto yang kemudian melahirkan sikap dan pandangan ekstrimisme.

Menurut saya ada dua pendekatan yang harus dilakukan secara integral untuk menetralisir tindak pidana terorisme, yakni pendekatan hukum dan pendekatan non-hukum. Pendekatan hukum dapat dilakukan melalui dua sarana, yakni sarana preventif melalui optimalisasi fungsi intelejen dan imigrasi untuk mempersempit ruang dan mobilisasi terorisme serta sarana represif melalui penegakan hukum pidana dan penguatan strategi deradikalisasi.

Deradikalisasi sendiri merupakan tahap penting dalam fungsionalisasi sistem peradilan pidana terhadap narapidana terorisme. Dapat dikatakan, kunci pokok dari pada efektivitas fungsi pembinaan terhadap narapidana terorisme adalah pada tahap deradikalisasi.

Tahap deradikalisasi akan menjadi penentu apakah vibran melakukan terorisme (pada narapidana terorisme) yang tertanam melalui indoktrinasi ajaran agama yang sarat kekerasan bisa dirubah menjadi paradigma beragama yang moderat atau tidak. Jika tidak, maka vibran terorisme yang tertanam dalam diri narapidana terorisme berpotensi akan semakin besar. Maka dari itu, penguatan strategi deradikalisasi menjadi poin krusial.

Di sisi lain, pendekatan non-hukum untuk mencegah atau meminimalisir terorisme terdiri atas dua hal. Pertama, internalisasi moderasi paradigma beragama. Dalam hal ini penguatan moderasi cara beragama menjadi hal penting dalam ruang sosial guna menekan bibit-bibit potensi tumbuhnya radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Internalisasi moderasi paradigma beragama dapat dilakukan melalui sarana formal (institusi pendidikan) maupun sarana non-formal misalnya dalam pengajian-pengajian umum.

Kedua, internalisasi wawasan kebangsaaan dan penguatan pemahaman HAM. Internalisasi wawasan kebangsaan dan penguatan pemahaman HAM menjadi poin penting untuk membangun nasionalisme dan civic culture sehingga bisa meredam vibran terorisme (ekstrimisme/kekerasan) yang gersang oleh nilai-nilai kebangsaan (Pancasila, konstitusi, semboyan bangsa, NKRI) dan budaya kewargaan yang beradab (kemanusiaan, gotong royong, egaliter, kolektif, inklusif).

Internalisasi wawasan kebangsaan dan penguatan pemahaman HAM harus menjadi poin penting dalam wacana kurikulum maupun nilai pendidikan bangsa. Wacana kurikulum dapat diderivasi melalui fungsionalisasi (intensitas) dan efektivitas mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dalam institusi pendidikan formal sedangkan nilai pendidikan bangsa dapat diderivasi melalui penguatan wawasan kebangsaan dan pemahaman HAM dalam setiap lini masyarakat.

  • Bagikan