Suaraindo.id — Peredaran video yang berisi adegan kekerasan kini tampaknya sudah menjadi hal umum bagi masyarakat Indonesia. Dengan perkembangan teknologi, warga kini akan dengan mudah mendapati video seperti itu hadir pada layar telepon genggam mereka.
Yang terbaru misalnya, video yang menampilkan pengeroyokan Ade Armando dengan cepat beredar luas di ranah media sosial beberapa saat setelah ia mengalami pengeroyokan di depan Gedung DPR ketika menghadiri demo mahasiswa pada 11 April lalu.
Melihat fenomena penyebaran video kekerasan, sejumlah pakar menyarankan agar masyarakat harus peka dalam bereaksi. Pakar menyebutkan bahwa semakin sering seseorang terpapar dengan aksi kekerasan, semakin mudah ia menjadi pelaku. Begitu pula juga dengan pembenaran atas kekerasan, di mana hal tersebut dapat mendorong orang melakukan hal yang sama, karena menilai apa yang dia lakukan adalah sesuatu yang wajar.
“Dari sudut pandang edukasi, perilaku kekerasan yang marak dan mungkin sudah dianggap wajar, saya melihatnya, itu bisa dibentuk karena lingkungan, dan perilaku itu juga bisa dibentuk karena persepsi individu,” ujar Mulawarman Ph.D, Pengajar dan Konselor di Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Semarang, kepada VOA, pada Selasa (18/4).
Menganggap kekerasan sebagai tindakan wajar akan berakibat pada kurangnya kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah secara tepat, kata Mulawarman.
“Maka solusi tercepat untuk bisa menyelesaikan problem, bukan resolusi konflik atau rekonsiliasi, supaya itu diselesaikan dengan mufakat atau dengan cara yang baik. Tetapi kita disuguhkan dengan solusi tercepatnya, ya dengan kekerasan itu, atau bisa disebut forcing conformity,” tambahnya.
Kegagagalan Komunikasi Verbal
Sementara itu, Antropolog terkemuka dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr Paschalis Maria Laksono menyebut, kekerasan berkaitan dengan kemampuan komunikasi verbal.
“Kekerasan itu karena kegagalan berkomunikasi. Kekerasan terjadi, karena orang kehabisan kata-kata untuk bergaul. Kehabisan media budi bahasa untuk bergaul, lalu yang maju tangan. Begitu kira-kira kekerasan,” ujarnya kepada VOA.
Setiap harinya, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan dan potensi kekerasan timbul menyertai seiring munculnya masalah-masalah tersebut. Setiap suku di Indonesia, menurut Laksono, menerapkan budaya menahan kekerasan karena sadar betul akan kondisi tersebut. Ia memberi contoh bahwa masyarakat Jawa mencegah timbulnya kekerasan dengan menciptakan hierarki bahasa, yang membuat pemakainya terikat secara emosi.
Hierarki bahasa yang dimaksud adalah pemakaian gaya bahasa Jawa yang disebut sebagai ngoko hingga krama. Seseorang yang berbicara pada orang yang lebih tua atau dihormati, harus memakai bahasa krama. Pemakaian gaya bahasa krama ini, menurut Laksono, mampu mencegah seseorang melakukan kekerasan, karena emosinya dikekang oleh pilihan kata-kata dalam bahasa krama itu sendiri.
Bahasa daerah di Indonesia rata-rata memiliki fungsi serupa seperti dalam bahasa Jawa itu. Sementara bahasa Indonesia, yang disebut Laksono sebagai lingua franca yang dipungut dari bahasa pasar, bukanlah bahasa etnik.
“Kalau orang berbicara dalam bahasa Indonesia, hubungan antara identitasnya, antara dirinya dengan apa yang diomongkan itu lemah,” ujarnya
Dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar Ilmu Sastra dan Gender, Fakultas Ilmu Budaya UGM belum lama berselang, Prof. Dr. Wening Udasmoro juga menyinggung soal isu kekerasan yang marak di masyarakat.
Wening mengatakan semua orang adalah pewaris dinasti kekerasan yang narasinya ditransmisikan lewat berbagai cerita, baik oral, tertulis maupun visual.
“Kita adalah pewaris cerita-cerita epik dan kepahlawanan dari berbagai belahan dunia yang hadir dalam memori sejak kanak-kanak. Dimana berbagai narasi budaya, politik, media, serta narasi luas dalam kehidupan kita sehari-hari mencerminkan beroperasinya kekerasan yang seringkali dijadikan mekanisme dalam penyelesaian masalah oleh habitus masyarakat kita,” kata Wening.
Dia juga menilai, sebagian masyarakat tidak menyadari kehadiran narasi ini sebagai tindakan yang beracun dan berbahaya. Ketidaksadaran tersebut, kata Wening, terjadi karena mekanisme performatif berupa kecenderungan mengulang skrip kekerasan tanpa mempertanyakan mengapa kita harus mengonsumsinya.
“Kita pun seringkali juga menjadi subjek yang turut mentransmisikan budaya kekerasan. Cara-cara kita mempreservasinya juga terfasilitasi oleh produk-produk kapitalisme, seperti telepon seluler,” tambah Wening.
Ia menjelaskan bahwa narasi yang kuat lewat sastra mampu mencegah dan menekan kekerasan. Media yang digunakan bisa dihadirkan di dalam sistem pendidikan, baik sekolah, keluarga, maupun dalam percakapan masyarakat di keseharian. Narasi semacam ini, menurut Wening, bahkan lebih efektif dibanding penegakkan hukum untuk berbagai bentuk kekerasan.
Budi Pekerti dan Contoh
Membiarkan kekerasan adalah awal dari kekerasan itu sendiri. Merespons kekerasan dengan tindakan yang keliru, juga berpotensi melahirkan kekerasan yang baru. Mulawarman menawarkan jalan keluar menekan angka kekerasan di masyarakat, dengan gerakan dari tengah keluarga.
“Menurut saya, ini bisa dimulai justru dari lingkup yang paling kecil. Tidak di sekolah, meski ini masih ada kaitannya, yaitu di micro system-nya. Di area keluarga,” kata Mulawarman.
Senada dengan Mulawarman, Laksono juga menyebutkan bahwa keluarga memegang peranan penting karena budi pekerti bukanlah semacam pelajaran sekolah.
“Budi pekerti itu dipraktikkan sehari-hari. Pengalaman hidup sehari-hari, bagaimanapun adalah pelajaran yang lebih nyata,” ujarnya.
Laksono mengingatkan bahwa Indonesia pernah menjalankan program penataran P4 agar masyarakat memahami Pancasila dan hasilnya justru negatif. Ia menekankan penanaman nilai tidak bisa dilakukan secara pura-pura melalui sebuah pelajaran di sekolah.
“Pelaku kekerasan bisa mengaku membela Pancasila, membela NKRI, tetapi melakukan gerakan yang anti-Pancasila itu sendiri. Kita harus keluar dari sekadar ucapan, sekadar ritual,” tambahnya. [ns/rs]
.
Kekerasan Diwariskan