Petani Sawit Protes Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng

  • Bagikan
Pekerja di perkebunan sawit di Pekanbaru, memindahkan buah sawit yang dipanen ke truk pengangkut sebelum diolah menjadi minyak sawit mentah (CPO), 23 April 2022. (WAHYUDI/AFP)

Anggota Dewan Pakar Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Wayan Supadno meminta agar pemerintah tetap membuka keran ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) CPO dan minyak goreng. Ia mengatakan, kebijakan pelarangan ekspor tersebut akan mengancam kehidupan 2,6 juta kepala keluarga petani sawit yang selama ini menggantungkan hidupnya dari ekspor sawit.

“Produksi CPO kita itu besar 47 juta ton (per tahun), sementara yang diekspor 30 juta ton. Ketika itu di setop maka sebagian tidak laku, dan ketika tidak laku otomatis dampaknya kepada petani, karena asalnya minyak goreng itu dari CPO dan CPO itu dari Tandan Buah Segar (TBS) petani. Kami selaku petani sejujurnya keberatan karena menyakitkan sekali,” ungkapnya kepada VOA.

Menurutnya, petani sawit selama ini sudah menghadapi banyak permasalahan. Banyak lahan petani yang diklaim oleh Kementerian Lingkungan Hidup meski memiliki sertifikat hak milik atas lahan-lahan itu. Kemudian, harga pupuk melonjak tinggi akibat adanya pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina. Kebijakan pelarangan ekspor ini juga membuat sebagian besar pabrik kelapa sawit tidak mau menerima sawit petani, karena adanya risiko tidak lakunya CPO di pasar dalam negeri.

“Contoh konkret hari ini harga sawit Rp3.600 (per kg) saat ini tinggal Rp2.400. Bahkan ada pabrik yang tidak mau menerima sawitnya petani. Ini berbahaya sekali, sementara kalau itu disetop, otomatis sawit akan rusak karena sawit harus disiplin untuk dipanen, setiap dua minggu sekali pada pohon yang sama,” jelasnya.

Seorang pekerja perkebunan sawit di Pekanbaru mengangkat buah sawit yang dipanen ke truk pengangkut sebelum diolah menjadi minyak sawit mentah (CPO), 23 April 2022. (WAHYUDI/AFP)
Seorang pekerja perkebunan sawit di Pekanbaru mengangkat buah sawit yang dipanen ke truk pengangkut sebelum diolah menjadi minyak sawit mentah (CPO), 23 April 2022. (WAHYUDI/AFP)

Lebih jauh, Wayan menjelaskan, penghentian ekspor juga (crude palm oil/CPOmerugikan negara. Pelarangan ekspor berarti negara akan kehilangan devisa senilai Rp510 triliun per tahun, pajak ekspor Rp85 triliun per tahun dan pungutan ekspor oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) senilai Rp71 triliun per tahunnya.

“Ini kan angka besar yang tidak tergantikan oleh komoditi yang lain. Ketika ini disetop akan jadi ancaman serius pendapatan negara, selain ancaman serius bagi pendapatan negara, akan mengancam kelangsungan hidup petani sawit,” tuturnya.

Ia berharap pemerintah serius dalam menangani permasalahan ini, terutama dengan menindak para pengusaha nakal yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah.

“Memang iya (ada mafia). Mustahil kalau tidak cukup. Saya selaku petani itu malu (produksi) CPO 47 juta ton, untuk minyak goreng rakyat saja tidak ada, ini kan keterlaluan. Itu pasti ada yang nakal,” katanya.

“Dua per tiga dari total produksi sawit itu untuk ekspor. Bayangkan saja kalau kita punya industri, tidak laku di pasar, atau tidak dipasarkan, apa dampaknya? Tapi saya yakin itu sehari dua hari dibuka lagi. Gak mungkin, itu sama dengan bunuh diri. Berdampak pada devisa, pajak, jutaan petani sawit, terlalu beresiko pemerintah kalau mengambil langkah setop ekspor itu,” jelasnya.

Kebijakan Pelarangan Ekspor Tidak Efektif

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak akan menyelesaikan kisruh minyak goreng. Menurutnya, pemerintah panik sehingga kebijakan yang diambil hanya berdampak jangka pendek yakni untuk menjaga ketersediaan minyak goreng untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sementara itu, menurutnya, sumber dan akar permasalahannya sendiri, yakni dugaan mafia dalam industri ini, tidak diselesaikan dengan baik.

Warga antre membeli minyak goreng murah dari operasi pasar di Surabaya, Jawa Timur, 18 Februari 2022. (Foto: Juni Kriswanto/AFP)
Warga antre membeli minyak goreng murah dari operasi pasar di Surabaya, Jawa Timur, 18 Februari 2022. (Foto: Juni Kriswanto/AFP)

“Saya justru melihat kita itu mau menangkap tikus, harusnya tikusnya yang ditangkap, tapi malah satu rumahnya dibakar. Jadi yang kita lihat kemudian kebijakan yang dikeluarkan ya tidak efektif, karena pada akhirnya justru ini buah simalakamang bagi kita semua, dalam arti industri-industri yang selama ini berkembang di minyak goreng kemudian mengalami kesulitan, ada beberapa perusahaan yang kemudian akhirnya menutup atau berhenti beroperasi karena tidak bisa berproduksi secara luas karena permintaannya menurun dan hanya untuk melayani kebutuhan dalam negeri saja,” ungkap Trubus kepada VOA.

Lebih jauh, Trubus menjelaskan, bahwa kebijakan ini akan merugikan Indonesia. Menurutnya, selain menghilangkan pendapatan negara, pasar komoditi ekspor yang cukup besar ini akan diambil oleh negara lain.

Ia berharap pemerintah serius dalam menangani permasalahan ini, dengan mengeluarkan kebijakan yang konsisten dan melakukan penindakan hukum yang tegas terhadap para pelanggarnya. Jika tidak, permasalahan serupa, katanya, akan merembet kepada komoditas unggulan Indonesia yang lain.

“Kalau untuk jangka pendek tentu ini serasa efektif karena pada akhirnya minyak ini seperti ada, tapi itu nanti akan langka lagi, akan dipermainkan lagi dengan adanya kebijakan mungkin satu tahun ini akan terlihat nyaman dan damai, tapi potensi untuk terjadinya kelangkaan itu bakal direkayasa kembali dengan cara-cara yang lebih masif lagi dan akan berkaitan dengan komoditi yang lain, merembet ke komoditi yang lain,” pungkasnya. [gi/ab]

  • Bagikan