Lima Lembaga Organisasi Kristen Menggelar Seminar “Mencermati Rancangan KUHP Dalam Pembangunan Hukum Indonesia”

  • Bagikan

Suaraindo.id – Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila, membutuhkan sistem hukum nasional yang serasi, sinergis, menyeluruh, dan dinamis, melalui upaya pembangunan hukum. Salah satu proses pembangunan hukum yang dilaksanakan oleh Pemerintah khususnya di bidang hukum pidana adalah dengan melakukan revisi KUHP.

Sejumlah persoalan dalam RUU KUHP menjadi pusat perhatian publik sehingga pemerintah perlu turut serta mengklarifikasi persoalan dimaksud.

Untuk mencermati permasalahan tersebut, lima lembaga atau organisasi Kristen yakni Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI), bersama Pengurus Nasional Perkumpulan Senior (PNPS) GMKI, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) , Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna) dan Program Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia menggelar Seminar “Mencermati Rancangan KUHP Dalam Pembangunan Hukum Indonesia” di Gedung Graha Oikumene, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (11/8/22).

Acara dengan apik dipandu oleh Dr. Bernard Nainggolan, SH, MH yang merupakan Dosen Prodi Doktor Hukum UKI juga sebagai Ketua Pengurus YKI dan Sonya Sinombor wartawan Kompas. Yang menjadi Keynote Speaker adalah Wakil Menteri Hukum dan Ham Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej. Serta menghadirkan nara sumber yang merupakan ahli dibidang hukum yakni, Prof. Dr. Jhon Pieris, SH, MS Guru Besar Hukum Tata Negara UKI, Prof. Dr. Mompang L. Panggabean, SH, M. Hum Guru Besar Hukum Pidana UKI, Dr. Jamin Ginting, SH, MH Dosen Program Studi Hukum UPH dan Prof. Dr. Albertus Patty, MA sebagi Teolog.

Menurut Wamen Kementerian Hukum dan HAM bicara RKUHP sebenarnya sudah diinisiasi sejak tahun 1958, sudah 64 tahun lalu. Namun, baru masuk legislasi DPR tahun 1963 sudah 59 tahun. Menurutnya, tidak ada satu pun negara di dunia mampu secara kilat menyusun KUHP baru negaranya.

“Belanda lepas dari jajahan Perancis, butuh 70 tahun untuk membuat KUHP meski masyarakat homogen. Berbeda dengan Indonesia, multi etinik, luas geografis dan 270 juta penduduk, maka tidak mudah membuat KUHP produk sendiri. Sebab kodevikasi harus membuat semua senang,” ujarnya.

Karena itu, pemerintah perlu mencari win-win solution atau midle way (jalan tengah). Harus ada titik temu dari keberagaman sosial, budaya, agama di Indonesia.

“Persoalan prosesnya sudah selesai dibahas 2014-2019. Kebetulan saya terlibat selama 8 tahun. Pada 19 Sep 2019 Pemerintah menarik RKUHP ini dari DPR, pertimbangannya karena perlu sosialisasi terlebih dulu ke masyarakat, agar tidak menjadi masalah nanti. Sampai saat ini ada 6.000 masukan dari masyarakat,” kata Omar sembari menambahkan bahwa pemerintah telah melakukan sosialisasi di 12 provinsi.

“Kemudian Mompang Panggabean mengatakan sebetulnya satu event seminar ini tidak cukup membahas satu rancangan yang begitu padat, apalagi karena yang disinggung disinikan hanya garis besar dan beberapa pasal yang dianggap bermasalah,” katanya.

Karena kalau saya liat dari zaman kami kuliah S1 itu membutuhkan waktu berpuluh tahun untuk memahami isi buku satu saja itu sudah cukup lama. Dan begitu juga membahas buku kedua. Nah buku kedua ini yang dinyatakan oleh masyarakat sebagai banyak mengandung masalah, terlebih lagi ada pasal-pasal yang dianggap tumpang tindih dengan ketentuan lain diluar KUHP, begitu juga ada yang sudah masuk dalm Undang-Undang pidana Khusus.

“Tambahnya, ini tentunya yang memang harus dilakukan sinkronisasi oleh legislatif kita. Saya tidak tau apakah mereka tidak punya sumber daya yang cukup untuk itu, walaupun saya tau banyak yang namanya tenaga ahli disana, seharusnya bisa dilakukan. Tdi saya cuma tunjukkan bagaimana contoh adanya keterkaitan dengan UU kesehatan, UU konservasi sumber daya alam, nah ini kalau tidak dilakukan sinkronisasi, penegakan hukumnya nanti yang akan menimbulkan masalah, artinya penegak hukum bisa mengalami kesulitan, yang diterapkan yang mana”.

“Maka kita memang membutuhkan langkah-langkah yang strategis kedepan, nah sehingga dalam percakapan dengan wamen Kumhampun, kita diminta dari masyarakat itu supaya terus menerus mengkritisi mencermati dan pemerintah siap untuk menerima masukan, saya pikir itu sudah langkah yang progresif sehingga tidak ada kecurigaan dari masyarakat,”

Menanggapi Dr. Jamin Ginting, SH, MH yang juga Dosen Fakultas Hukum UPH melihat RKUHP ini dampaknya sangat terbuka setiap daerah akan menumbuhkan aturan-aturan hukum adat masing-masing.

“Hukum pidana tidak tepat diambil dari hukum kebiasaan yang hidup (Living Act). Tidak bisa dasar hukum ada kehidupan masyarakat. Kalau hukum perdata saya setuju,” kritiknya tegas. Penegak hukum banyak penafsiran seperti historis, interpretasi hakim. Menurutnya lebih baik beri kesempatan ruang kepada hakim untuk mengaturnya. Ia menyarankan, biarkanlah apa yang baik, yang sudah ada, dengan asas legalitas tetap diperhatikan, ”

“Saya kuatir di seluruh Indonesia berlaku adat masing-masing dan akan terjadi persingguhan dan irisan teritorial yang bisa bertentangan,” ujarnya mengingatkan.

Yang lain, ia juga menyoroti terkait penodaan agama. Diakuinya, bahwa kebanyakan negara (ada 71) negara mempunyai hukum penodaan agama. Yang perlu diperhatikan adalah penodaan yang dimaksud apa Tata Ibadah atau Keyakinannya?

Sedangkan terkait dengan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) sesuai UU TIPIKOR Pasal 2 dan 3 yang kemudian RKUHP Pasal 607 dan 608. Pidana korupsi sesuai UU Tipikor ancaman minimun 4 tahun, kemudian diperkecil 2 tahun.

“Kalau KUHP disahkan lalu apakah nanti kasus Tipikor akan dikenakan KUHP atau UU Tipikor. Sebab KUHP ini mengurangi hukuman dan ini menjadi masalah sendiri.”

Diskusi berlangsung menarik, hingga pukul 18.30 dengan kehadiran 300 peserta dan juga peserta daring. Penanggap juga dari berbagai ahli dari daerah antara lain Dr. Budiman Sinaga, SH, MH dari Universitas HKBP Nommensen, Dr. Marihot Hutajulu, SH, MHum Dekan FH UKSW Salatiga dan Dosen FH dari Kupang. (Elly)

  • Bagikan