Suaraindo.id — Presiden Joko Widodo mengatakan Dana Moneter Internasional atau IMF menyebut kondisi perekonomian Indonesia sebagai titik terang di tengah kegelapan perekonomian dunia. Atas dasar itu, Presiden optimis kinerja perekonomian nasional masih lebih baik daripada negara-negara lain di tengah ancaman resesi global.
“Ini yang ngomong bukan kita loh ya, (tetapi) Kristalina Managing Director-nya IMF…. titik terang di antara kesuraman ekonomi dunia. Kan bagus kalau banyak yang menyampaikan seperti itu sehingga trust kepercayaan global terhadap kita akan semakin baik,” ungkap Jokowi.
Ia menjelaskan, performa ekonomi nasional masih cukup baik kerena pertumbuhan pada kuartal-II masih mencapai 5,4 persen. Dengan angka itu, Jokowi meyakini Indonesia merupakan negara yang pertumbuhan ekonominya paling tinggi dibandingkan negara-negara anggota G20 lainnya. Kinerja positif juga terjadi pada laju inflasi yang bisa dikendalikan pada level 4,9 persen di kuartal-II dan sedikit melonjak ke angka 5,9 persen akibat adanya kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Selain itu, neraca perdagangan Indoensia selama 29 bulan berturut-turut selalu surplus hingga mencapai $39,8 miliar.
“Jadi kita semuanya harus optimis, meskipun lembaga-lembaga internasional menyampaikan bahwa tahun ini sulit, tahun depan akan gelap, silakan negara-negara lain. Negara kita harus tetap optimis,” tukasnya.
Namun Jokowi mengimbau masyarakat agar harus tetap waspada mengingat badai ekonomi global yang akan terjadi diperkirakan akan sulit diprediksi. IMF sendiri menyatakan sejauh ini sudah ada 16 negara yang sudah menjadi “pasien”-nya. Selain itu, juga terdapat 28 negara lainnya yang masih antre untuk mendapatkan gilirannya.
Presiden mengingatkan bahwa meski indikator perekonomian nasional yang masih berada di angka biru, tetapi dibutuhkan kerja keras.
“…. dalam kondisi yang sangat-sangat sulit seperti ini, kerja keras adalah kuncinya. Kita nggak bisa lagi, ulang-ulang saya sampaikan, tidak bisa lagi kerja itu hanya makronya saja, nggak. Kerja mikro juga masih belum cukup. Kerja sekarang memang harus lebih detail, dilihat satu per satu dan dikejar diselesaikan,” tuturnya.
Ancaman Resesi Global
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebut tidak ada satu negara pun yang bisa aman dari resesi ekonomi. Ia mengatakan kondisi ekonomi Indonesia saat ini memang masih dalam keadaan relatif baik karena kenaikan harga komoditas akibat perang Ukraina. Hal tersebut membawa angin segar sehingga neraca perdagangan nasional mengalami surplus.Namun, Bhima menekankan bahwa resesi ekonomi kelak bisa menurunkan permintaan dari komoditas yang saat ini menjadi primadona bagi ekonomi di Tanah Air. Ia berpendapat permintaan komoditas yang menjadi bahan baku industri manufaktur akan turun seiring dengan berkurangnya permintaan dari Amerika Serikat (AS), Eropa, dan terutama China.
Kondisi perekenomian China sendiri, kata Bhima, akan sangat berpengaruh pada perekonomian nasional mengingat kedua negara memiliki nilai ekspor dan impor yang cukup signifikan.
“Perdagangan Indonesia dengan China itu 30 persen. Kita bergantung impor kepada mereka dan 20 persen ekspor kita menuju pada pasar China,” ungkap Bhima kepada VOA.
Maka dari itu, menurutnya, Indonesia harus berhati-hati menghadapi berbagai risiko akan gelap dan suramnya perekonomian global pada tahun depan. Jangan sampai, kata Bhima, Indonesia kembali jatuh ke jurang krisis seperti pada 1998.
“Pujian seperti itu mengingatkan kita pada tahun 1997 (ketika) Indonesia dijuluki sebagai The Asian tiger, atau negara asia yang pertumbuhannya cukup tinggi. Tapi setelah itu Indonesia masuk ke jurang krisis pada tahun 1998,” katanya.
Bhima menyarankan kepada pemerintah, untuk mempersiapkan kebijakan paket kebijakan antiresesi, seperti peningkatan perlindungan sosial, relaksasi pajak seperti tarif pajak PPN yang dikurangi menjadi delapan persen dari 11 persen, kemudian insentif bagi UMKM, atau kepada pelaku usaha yang bergerak di sektor padat karya.
“Hingga penambahan jaring pengaman sosial hingga dua kali lipat dari PDB. Sebelumnya 2,5 persen perlindungan sosial dari PDB. Idealnya bisa menjadi lima persen atau dua kali lipat porsinya dibandingkan dengan yang eksisting. Itu sebenarnya yang harus dilakukan dan menunjuk komite khusus untuk penangan resesi ekonomi,” pungkasnya. [gi/ah]