Suaraindo.id – Tidak seluruh negara anggota G20 tersenyum puas dengan kesepakatan transisi energi yang dicapai pada pertemuan kali ini. Bagi Arab Saudi misalnya, yang menggantungkan ekonominya pada produksi minyak, transisi energi bukan frasa yang enak terdengar.
Karena itulah, dalam forum G20 pun, pembahasan terkait transisi energi mengalami perdebatan, seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Bali, Rabu (16/11).
“Karena seperti Anda tahu di dalam G20 ada negara seperti Arab Saudi, bahkan kita mengundang UEA (Uni Emirat Arab -red), yang mereka sangat kaya terhadap fosil fuel. Jadi mereka akan meminta supaya transisi itu harus secara hati-hati dilakukan,” kata Sri Mulyani.
Setidaknya ada tiga persoalan saling berkait dalam isu transisi energi. Pertama, kesepakatan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) terkait bagaimana akses terhadap energi dan menghilangkan kemiskinan akibat adanya kurangnya akses terhadap energi. Kedua, sektor energi adalah penghasil karbon (CO2) di semua negara, termasuk di Indonesia, dan ini berpengaruh terhadap Nationally Determined Contribution (NDC). NDC adalah kontribusi yang ditentukan secara nasional terkait mitigasi perubahan iklim, termasuk target pengurangan emisi gas rumah kaca.
“Sektor energi adalah sektor yang menghasilkan CO2 dan yang paling mahal dari sisi untuk mencapai keseimbangan. Antara mencapai target NDC, yaitu mengurangi ancaman perubahan iklim dan menutup gap antara mereka yang belum mendapatkan akses energi maupun mereka yang miskin karena tidak mendapatkan akses energi,” tambah Sri Mulyani.
Sedangkan persoalan ketiga, di luar soal keseimbangan di atas, adalah kebutuhan dana yang luar biasa besar. Dana itu dibutuhkan untuk meninggalkan pemanfaatan sumber energi fosil seperti minyak mentah dan batu bara, dan pada saat bersamaan berinvestasi pada sumber energi bersih.
Karena peliknya persoalan ini, sebenarnya transisi energi sudah mulai dibahas sejak G20 dididirikan di 2009. Menurut Sri Mulyani, sejak saat itu negara-negara sudah berbicara tentang bagaimana menurunkan subsidi pemakaian bahan bakar fosil, karena dianggap tidak sesuai target.
“Bagaimana kita bisa meningkatkan akses energi, terutama pada mereka yang masih kelompok miskin dan tertinggal. Dan pada saat yang sama untuk mengurangi emisi energi, itu semuanya menjadi tiga hal yang terus dicari keseimbangannya,” tambah Sri Mulyani.
Karena menyadari bahwa transisi energi membutuhkan pendanaan sangat besar, G20 memberikan perhatian penuh. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, untuk pendanaan telah disepakati skema besar kerja samanya.
“Dalam program transisi energi ini, dari pemerintah Amerika Serikat juga me-launch yang namanya PGII, Partnership for Global Infrastructure and Investment, salah satu tugasnya adalah untuk transisi energi,” ujarnya.
“Total paketnya $600 miliar dalam 3-4 tahun ke depan. Dan di dalamnya ada yang diinisiasi oleh Jepang dan JETP, yang kita sudah juga dikomitkan sebesar $20 miliar. Jadi tentu ini akan mendorong percepatan dari dekarbonisasi di Indonesia,” tambah Airlangga.
PGII adalah skema global, yang di dalamnya terdapat banyak paket kesepakatan. Selain Just Energy Transition Program (JETP) untuk Indonesia, ada juga Indonesia Millenium Challenge Corporation (IMCC) sebesar $698 juta. Kemudian Trilateral Support for Digital Infrastructure, melalui kemitraan Australia dan Jepang untuk proyek digital. Termasuk mengamankan rantai pasokan mineral kritis di Brazil, pengembangan energi surya di Honduras, serta investasi bagi infrastruktur kesehatan bagi India.
Bagian dari Deklarasi
Deklarasi Pemimpin G20 di Bali telah menghasilkan 52 poin kesepakatan, di mana dua poin di antaranya mengupas sektor energi. Pemimpin G20 menyatakan sepakat untuk mempercepat dan memastikan transisi energi berkelanjutan, adil, terjangkau, dalam iklim investasi yang inklusif. Bali Compact dan Peta Jalan Transisi Energi Bali juga disepakati menjadi panduan untuk mencari solusi mencapai stabilitas pasar energi, transparansi, dan keterjangkauan.
Poin sebelas dalam deklarasi menyatakan: “Kami bertemu pada saat krisis iklim dan energi, di tengah tantangan geopolitik. Kita juga sedang mengalami volatilitas harga , an pasar energi serta gangguan dalam pasokan energi. Kami menggarisbawahi urgensi untuk mengubah dan mendiversifikasi sistem energi dengan cepat, ketangguhan dan keamanan energi serta stabilitas pasar dengan mempercepat dan memastikan transisi energi yang berkelanjutan, adil, terjangkau, dan investasi inklusif. Kami menekankan pentingnya memastikan bahwa permintaan energi global diimbangi oleh pasokan energi yang terjangkau.”
“Kami menegaskan kembali komitmen kami untuk mencapai Net Zero Emission gas rumah kaca/netralitas karbon pada sekitar pertengahan abad, sambil mempertimbangkan perkembangan ilmiah terbaru dan keadaan nasional yang berbeda. Kami meminta dukungan berkelanjutan untuk negara-negara berkembang, terutama di negara-negara yang paling rentan, terutama dalam menyediakan akses ke kapasitas energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern, teknologi terbaru yang terjangkau dalam domain publik, kerja sama teknologi saling menguntungkan, dan pembiayaan aksi mitigasi di sektor energi.”
Sedangkan di poin 12 adalah: “Kami menegaskan kembali komitmen kami untuk mencapai target SDGs 7 dan berupaya menutup kesenjangan energi akses dan untuk memberantas kemiskinan energi. Menyadari peran kepemimpinan kami, dan dipandu oleh Bali Compact dan Peta Jalan Transisi Energi Bali, kami berkomitmen untuk mencari solusi dalam mencapai stabilitas pasar energi, transparansi, dan keterjangkauan. Kami akan mempercepat transisi dan mencapai tujuan iklim kita dengan memperkuat rantai pasokan energi dan keamanan energi, dan diversifikasi bauran dan sistem energi.”
“Kami akan dengan cepat meningkatkan penyebaran pembangkit listrik nol dan rendah emisi, termasuk energi terbarukan, langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi energi, teknologi pengurangan dan penghilangan GRK, dengan mempertimbangkan keadaan nasional. Kami sadar akan pentingnya mempercepat pengembangan, penyebaran teknologi, dan penerapan kebijakan transisi menuju sistem energi rendah emisi, termasuk dengan dengan cepat meningkatkan penyebaran pembangkit listrik bersih, termasuk energi terbarukan, langkah-langkah efisiensi energi, termasuk upaya pensiun dini tenaga batu bara, sejalan dengan kondisi dan berdasarkan kebutuhan nasional untuk mendukung transisi yang adil.” [ns/ab]