Survei Indikator: Parpol dan Polri Dapat Kepercayaan Terendah dari Publik

  • Bagikan
Polisi bersenjata berjaga usai ledakan di Polres yang menurut pihak berwenang diduga sebagai bom bunuh diri, di Bandung, Jawa Barat, 7 Desember 2022. (Photo: REUTERS/Willy Kurniawan)

Suaraindo.id – Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi memaparkan TNI menjadi lembaga yang menempati urutan pertama dipercaya publik. Ini terlihat dari survei Indikator yang menyebutkan sebanyak 95,2 persen responden cukup percaya atau sangat percaya terhadap TNI, disusul kemudian Presiden dan Mahkamah Agung. Sedangkan partai politik dan Polri menempati urutan terakhir lembaga yang dipercaya oleh publik.

Survei ini dilakukan pada 1-6 Desember 2022 dengan total responden 1.220 responden dengan tingkat kepercayaan kurang lebih 2,92 persen.

“Kepercayaan itu kadang naik, kadang turun. Kepercayaan terhadap polisi itu pernah paling tinggi di November 2021, 80 persenmasyarakat percaya kepada polisi. Tapi peristiwa Sambo membuat polisi terjerembab,” tutur Burhanuddin Muhtadi, Rabu (4/1/2023).

Adapun jika dilihat dari lembaga penegakan hukum, Kejaksaan Agung mendapat kepercayaan publik paling tinggi, disusul KPK, kemudian Polri menempati urutan paling buncit. Kendati demikian, menurut Burhan, kepercayaan publik terhadap Polri membaik dibandingkan Agustus 2022 karena muncul kasus Sambo.

“KPK pernah menjadi nomor dua lembaga yang dipercaya publik, bahkan mengalahkan presiden kepercayaannya. Tapi sekarang turun,” tambahnya.

Tren kepercayaan ini juga sama dengan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga dalam pemberantasan korupsi yakni dengan urutan Kejaksaan Agung, KPK, dan Polri.

Kendati demikian, dalam survei ini menunjukkan mayoritas publik menilai pemberantasan korupsi cenderung negatif. Sebanyak 33,7 persen menilai buruk atau sangat buruk, 28,3 persen sedang, dan 31,4 persen menilai baik atau sangat baik.

VOA sudah menghubungi Divisi Humas Polri terkait temuan survei Indikator Politik yang menempatkan Polri menjadi lembaga terbawah yang dipercaya publik. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari Polri.

Tanggapan Parpol

Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan temuan survei ini yang menempatkan partai menjadi lembaga terbawah yang dipercaya publik cukup mengkhawatirkan. Menurutnya, semua partai memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kepercayaan publik. Kata dia, partai juga harus obyektif dalam melihat kembali kinerja yang telah dilakukan selama ini sehingga kepercayaan publik menjadi rendah.

“Misalnya dengan sistem pemilu proporsional terbuka, apakah membawa implikasi bagi peningkatan kinerja partai. Atau justru dari kajian yang ada malah menurunkan kepuasan masyarakat terhadap parpol,” ujar Hasto.

Hasto menyebut bahwa sistem proporsional terbuka membuat para calon legislatif berlomba-lomba dalam popularitas agar terpilih. Sementara kapasitas dalam fungsi legislatif, anggaran, dan pengawasan kurang. Kendati, ia menyebut PDI Perjuangan akan menghormati aturan pemilu yang disepakati bersama.

Nasdem dan Golkar tidak mengomentari langsung temuan survei Indikator Politik Indonesia ini. Namun, kedua partai ini tidak setuju jika pemilu 2024 akan menggunakan sistem proporsional tertutup.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin mengatakan sistem proporsional terbuka lebih mewakili suara masyarakat daripada tertutup.Ia tidak meyakini sistem tertutup dapat mengurangi korupsi dan bebas dari oligarki. Karena itu, ia mengajak PDI Perjuangan untuk mempertimbangkan kembali usulan proporsional tertutup tersebut.

“Saya juga mengajak lembaga survei bergerak, jangan diam (baca: menolak proporsional tertutup). Masa kita delapan fraksi kalah dengan satu fraksi. Ayo Pak Hasto jangan terlalu keras, kita harus mengusung suara rakyat,” tutur Nurul Arifin.

Sekjen Partai Nasdem, Johnny G Plate, juga tidak sependapat dengan sistem proporsional tertutup. Menurutnya, pembahasan serupa juga pernah dilakukan di DPR pada periode sebelumnya, yang pada akhirnya dipilih proporsional terbuka. Selain itu, ia meminta partai agar tidak mengambil hak masyarakat dalam menentukan pilihan.

“Secara politik saat itu kita semua sepakat untuk gunakan sistem proporsional terbuka, argumen yang saat ini kita lakukan adalah argumen daur ulang,” ucap Plate. [sm/em]

  • Bagikan