Suaraindo.id– Mahkamah Agung (MA) secara resmi melarang pengadilan untuk mengabulkan pernikahan beda agama dan keyakinan. Keputusan ini disampaikan lewat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2/Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan, tertanggal Senin, 17 Juli 2023.
Diwawancarai VOA pada Rabu (19/7), juru bicara Mahkamah Agung Suharto membenarkan surat edaran yang “ditujukan kepada ketua pengadilan banding dan pengadilan tingkat pertama.”
“Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaannya. Tujuannya jelas untuk memberi kepastian dan kesatuan penerapan hukum, dan itu juga merujuk pada ketentuan undang-undang,” ujarnya.
Surat Edaran adalah Pedoman
Lebih jauh Suharto mengatakan surat edaran MA itu “prinsipnya bukan regulasi, tetapi pedoman atau petunjuk.” Rujukannya adalah Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 Huruf f Undang-Undang (UU) Nomor 1/Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
Surat edaran itu menyatakan demi “memberi kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan keyakinan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan” yang terdapat dalam surat edaran tersebut.
Pedoman yang dimaksud adalah “perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 Huruf f UU Nomor 1/Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
Satu poin lainnya menyatakan “pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.”
Suharto tidak menjawab soal apakah akan ada teguran atau sanksi hukum terhadap hakim pengadilan yang tidak mengikuti “pedoman” dalam surat edaran itu. Ia hanya mengatakan bahwa rata-rata hakim mengikuti surat edaran tersebut karena kebijakan MA.
Kabulkan Permohonan Beda Agama
Sejumlah pengadilan di Indonesia baru-baru ini mengabulkan perkawinan beda agama dan keyakinan, antara lain Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, PN Tangerang dan PN Yogyakarta.
Kepala Humas PN Yogyakarta yang sekaligus hakim yang mengabulkan permohonan perkawinan beda agama pada Desember 2022 lalu mengatakan ada beberapa pertimbangan yang membuatnya mengabulkan permohonan itu.
Antara lain, untuk mencegah kumpul kebo di antara pasangan itu karena sebelum dicatat oleh negara, perkawinan dianggap tidak sah. Pertimbangan lain adalah untuk melindungi hak anak pasangan itu kelak.
Dalam kasus serupa di PN Jakarta Selatan, hakim tunggal Arlandi Triyogo pada September 2022 mengabulkan sebagian permohonan pasangan beda agama untuk “mendaftarkan perkawinannya” di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi Jakarta Selatan, dan “memerintahkan penerbitan akta perkawinan.”
Fungsi MA
Merujuk pada Pasal 2 UU Nomor 14/Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang diperluas dan diubah dalam UU Nomor 3/Tahun 2009, juru bicara MA, Suharto, mengatakan petunjuk yang diberikan institusi itu kepada seluruh hakim lewat surat edaran “sudah sesuai fungsi MA.”
Aturan itu menyatakan “Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan agama di semua lingkungan pengadilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.”
Selain pengawasan semacam itu, undang-undang tersebut juga menegaskan bahwa Mahkamah Agung “berwenang memberi petunjuk, teguran atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya.”
Surat edaran yang memicu kontroversi ini juga ditembuskan kepada Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial, para Ketua Kamar MA dan seluruh pejabat eselon 1 di lingkungan MA.