Suaraindo.id Maman Suratman, warga Desa Penibung Kecamatan Mempawah Hilir Kalimantan Barat, akhirnya angkat bicara terkait tudingan memiliki tanah garapan ribuan hektar di dua desa.
Dalam pemberitaan salah satu media online, dua desa dimaksud adalah Desa Semudun Kecamatan Sungai Kunyit dan Desa Malikian Kecamatan Mempawah Hilir.
Dalam rilisnya kepada awak media di Mempawah, Senin (4/9/2023), Maman Suratman selanjutnya memberikan klarifikasi.
Dijelaskan, kisah perintisan tanah itu berawal dari sahabat Maman Suratman yang bernama Amir (almarhum).
“Ketika itu, almarhum Amir meminta saya untuk memperjuangkan nasib masyarakat Dusun Lestari, Desa Semudun, agar mendatangkan investor untuk mengolah tanah hutan,” jelasnya.
Karena itu, lanjut Maman, ia diminta hadir saat musyarawarah bersama masyarakat Dusun Lestari Desa Semudun yang dilaksanakan di kediaman Kepala Dusun Lestari.
Dalam musyawarah itu lahirlah sejumlah kesepakatan. Yakni;
Kesepakatan pertama, Maman Suratman dipercaya untuk mewakili atau mengatasnamakan masyarakat Dusun Lestari untuk mendatangkan investor.
Kesepakatan kedua, untuk meminimalisasi biaya administrasi surat menyurat, disepakati tidak menggunakan banyak nama dalam SPT. Maman selanjutnya dipercaya untuk menggunakan nama siapapun yang dicantumkan dalam SPT.
“Dengan ketentuan, bahwa jika investor sudah masuk mengolah tanah hutan produksi di Dusun Lestari, maka hak masyarakat harus diberikan dua hektar untuk setiap kepala keluarga dalam kondisi sudah dilakukan pembersihan dan dibuatkan parit,” papar Maman.
Kesepakatan ketiga, tanah hutan produksi itu dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu bagian masyarakat Dusun Lestari Desa Semudun, bagian Pemerintah Desa Semudun, bagian Maman Suratman selaku mediator dan bagian investor.
Dan kesepakatan keempat, biaya untuk mendatangkan investor selanjutkan akan menjadi tanggung jawab Maman Suratman.
Setelah adanya kesepakatan itu, beber Maman, dirinya bersama almarhum Amir melakukan perintisan tanah hutan produksi tersebut.
Selanjutnya dibuatkan Surat Pernyataan Tanah (SPT) sebagai suatu strategi untuk mempermudah urusan dalam mendatangkan investor.
Seiring waktu, dalam upaya mendatangkan investor, Maman mengakui pihaknya telah mengeluarkan biaya lebih dari Rp500 juta.
“Hanya saja, dari beberapa kali pertemuan dengan investor selalu tidak ada tindak lanjut hingga saat ini, walaupun sebelumnya kami diberikan keyakinan oleh investor akan mengolah tanah hutan tersebut,” ungkap Maman.
Terkait dengan tanah hutan produksi yang terletak di Desa Malikian, Maman Suratman menjelaskan bahwa Sudarso selaku Ketua BPD Malikian saat itu sudah melakukan pertemuan dengan sedikitnya 74 warga.
“Semuanya sepakat untuk dibuatkan Surat Pernyataan Tanah (SPT) atas nama Sudarso dan tokoh masyarakat lainnya. Tujuannya sama, yakni untuk membantu masyarakat,” tegas Maman.
Karena itu, lanjut Maman, jika diberitakan bahwa mantan Kades Malikian mengatakan tidak pernah menandatangani Surat Pernyataan Tanah hutan produksi dimaksud, ia tegaskan pernyataan itu tidak benar atau dengan kata lain keterangan palsu.
“Saya jelaskan bahwa pada saat Sudarso meminta tanda tangan SPT dimaksud, ada saksi yang melihat mantan Kades menandatanganinya. Jika ia (mantan kades) masih mengingkarinya maka dapat dilakukan uji laboratorium kriminal (Uji Labkrim) atas tanda tangan tersebut,” ujarnya lagi.
Maka dari uji labkrim itu akan bisa diketahui, apakah tanda tangan mantan kades tersebut identik atau tidak identik.
Jika ternyata hasilnya identik, maka mantan kades bisa dianggap telah membuat keterangan palsu. Sebaliknya jika hasilnya tidak identik, maka SPT tersebut menjadi palsu.
“Namun sejauh ini dapat saya pastikan bahwa mantan Kades Malikian memang telah menandatangani dan memberikan stempel pada SPT dimaksud,” tegas Maman.
Dari pemaparan tersebut, Maman menyimpulkan bahwa;
- Mensrea dari penerbitan SPT itu adalah untuk membantu masyarakat dan memajukan desa.
- Bahwa SPT dimaksud hingga hari ini adalah sah secara hukum, karena belum ada putusan pembatalan dari Pengadilan Negeri yang tetap dan mengikat (Inkracht).
- Bahwa tanah tersebut bukanlah tanah pertanian atau tanah garapan, melainkan tanah hutan produksi.
- Tanah hutan produksi dimaksud baru dirintis dan belum diolah secara menyeluruh.
- Tidak ada peraturan dan perundang-undangan yang dilanggar.
- Mengingatkan kepada pembuat berita untuk menjaga kode etik jurnalistik sebab berita yang diterbitkan media online tersebut tidak melakukan check and recheck atau konfirmasi terlebih dahulu.
“Jika sebagai wartawan resmi, hendaknya bernaung pada media yang telah terdaftar dewan pers, tetapi jika tidak terdaftar pada dewan pers, maka bisa dituntut dengan UU ITE karena telah membuat berita hoaks dan pencemaran nama baik,” ungkap Maman.
Selanjutnya Maman menegaskan dirinya siap bertanggung jawab terhadap persoalan yang muncul, terutama persoalan hukum.
“Demikian halnya pemberitaan di salah satu media online, saya juga meminta tanggung jawab dari pembuat berita, baik itu tanggung jawab sosial maupun tanggung jawab secara hukum,” tutup Maman Suratman.