Suaraindo.id – Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) menggelar diskusi penting mengenai program Tiga Juta Rumah di Gedung Auditorium Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Senin (28/10/2024). Pertemuan ini dihadiri oleh Menteri PKP, Maruarar Sirait, Wakil Menteri Fahri Hamzah, serta pejabat kementerian lainnya, dan melibatkan para pengusaha dari asosiasi perumahan.
Salah satu pengusaha yang berpartisipasi dalam diskusi ini adalah Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Perumahan Indonesia (APPERINDO), Tukirin Suryo Adinagoro, yang berasal dari Kubu Raya. Dalam kesempatan tersebut, Tukirin menyampaikan dukungannya terhadap program tiga juta rumah yang digagas oleh pemerintah.
“Saya sangat setuju dengan program tiga juta rumah. Ini adalah gagasan luar biasa dari Pak Menteri dan Pak Wamen,” ungkap Tukirin saat memberikan usulan dan saran. Dia menekankan pentingnya perumahan sebagai kebutuhan utama bagi masyarakat yang sudah berkeluarga, namun mengakui bahwa masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seringkali menghadapi kesulitan dalam memiliki rumah.
Walaupun pemerintah telah memberikan subsidi melalui skema FLPP, Tukirin mencatat masih banyak masyarakat yang belum mampu membeli rumah. “Perbankan khawatir akan kredit macet (NPL), sehingga mereka enggan memberikan pinjaman,” tegasnya.
Tukirin mengusulkan beberapa kebijakan untuk memastikan harga rumah tetap terjangkau, tanpa membuat perbankan takut akan NPL. Di antaranya adalah mempermudah perizinan, membebaskan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta proses balik nama sertifikat. Ia menekankan perlunya komitmen bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan lintas kementerian.
Selama ini, pengembang dibebani dengan berbagai perizinan seperti IPPT, PBG, dan SLF, yang meningkatkan biaya pembangunan. “Kami usulkan agar hanya izin IPPT dan PBG yang diperlukan, sementara izin SLF bisa dihapus. Ini akan membantu pengembang untuk menyiapkan rumah murah bagi rakyat,” lanjut Tukirin.
Dengan langkah-langkah ini, dia percaya bahwa harga rumah dapat ditekan hingga 50% dari harga subsidi. “Dengan harga yang lebih terjangkau, angsuran rumah bisa berada di kisaran Rp 500 ribu atau Rp 700 ribu per bulan. Untuk warga Kalbar, yang memiliki UMR sekitar Rp 2,7 juta, ini berarti mereka bisa memiliki rumah dengan KPR bersubsidi,” tambahnya.
Namun, Tukirin mengingatkan bahwa perbankan masih ragu memberikan skim kredit dengan angsuran rata-rata Rp 1,2 juta, yang menjadi tantangan bagi pekerja berpenghasilan UMR. “Angsuran sebesar itu sulit dipenuhi, sehingga perlu ada kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat,” tutupnya.
Diskusi ini menjadi langkah awal dalam mewujudkan kebutuhan perumahan yang mendesak bagi rakyat Indonesia, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga mereka bisa memiliki tempat tinggal yang layak dan terjangkau.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS