Rencana Pemangkasan Produksi Nikel oleh Kementerian ESDM Dapat Menjadi Masalah bagi Indonesia, Kata Pakar

  • Bagikan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang baru dilantik, Bahlil Lahadalia, menghadiri upacara pelantikan di Istana Kepresidenan, Jakarta, 19 Agustus 2024. SUARAINDO.ID/SK

Suaraindo.id – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana memangkas produksi nikel di tahun 2025 sebagai respons terhadap anjloknya harga komoditas nikel di pasar global. Namun, rencana ini menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk pakar ekonomi energi dan organisasi lingkungan, yang menilai kebijakan tersebut tidak tepat dan bisa merugikan Indonesia sebagai salah satu produsen bijih nikel terbesar di dunia.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa kebijakan pemangkasan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar. Ia menyebutkan bahwa evaluasi terhadap Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) nikel akan dilakukan agar produksi nikel yang ada dapat terserap dengan baik oleh industri.

“Saya dan Dirjen Minerba bersama tim dari Kementerian sedang mengkaji total kebutuhan nikel, untuk memastikan RKAB yang disetujui pada 2025 tidak menghasilkan produksi yang berlebihan, yang akhirnya membuat harga jatuh lebih dalam,” ujar Bahlil dalam konferensi pers yang dilansir oleh VoA Indonesia.

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), berpendapat bahwa kebijakan pemangkasan produksi nikel ini kurang tepat. Ia menilai bahwa kebijakan ini akan mengurangi pasokan bijih nikel untuk smelter dalam negeri, yang saat ini kekurangan pasokan dan justru mengimpor nikel dari negara lain seperti Filipina. Fahmy juga menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan tujuan pemerintah dalam meningkatkan hilirisasi nikel di Indonesia.

“Ketika ekspor bijih mentah nikel dilarang, tujuannya adalah agar Indonesia mendapatkan nilai tambah dari hilirisasi. Namun, jika sebagian bijih nikel diimpor dari negara lain, maka tujuan hilirisasi tersebut tidak akan tercapai sepenuhnya,” kata Fahmy.

Selain itu, Fahmy ragu bahwa pemangkasan produksi nikel akan mampu meningkatkan harga komoditas ini. Menurutnya, banyak negara lain yang juga memproduksi nikel dan dapat menghasilkan harga keseimbangan sesuai dengan permintaan pasar global.

Fahmy menambahkan bahwa kebijakan pemangkasan produksi nikel mungkin akan memperpanjang cadangan nikel Indonesia. Namun, hal itu juga berarti Indonesia akan kehilangan potensi besar dalam menciptakan nilai tambah dari komoditas ini. Sebagai alternatif, ia menyarankan agar pemerintah fokus pada moratorium smelter, yang berarti menghentikan penambahan jumlah smelter baru dan memastikan pasokan bijih nikel untuk smelter yang sudah ada dapat tercukupi.

“Daripada membatasi produksi nikel, lebih baik pemerintah fokus pada moratorium smelter, supaya smelter yang ada dapat beroperasi secara maksimal tanpa harus mengimpor bijih nikel,” tambahnya.

Sementara itu, Adam Kurniawan, Kepala Divisi Public Engagement Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mempertanyakan konteks pemangkasan produksi nikel ini. Adam mempertanyakan apakah pemangkasan tersebut berarti pencabutan izin tambang atau hanya pengurangan skala pengolahan. Meski begitu, ia percaya kebijakan ini tidak akan berdampak signifikan terhadap lingkungan, kecuali jika pemerintah juga melakukan rehabilitasi lahan bekas tambang dan pencabutan izin pertambangan di lokasi yang telah dieksploitasi.

“Jika kebijakan ini hanya terkait dengan pengurangan produksi tanpa ada pencabutan izin pertambangan atau pemulihan lingkungan, maka dampak terhadap bencana alam mungkin tidak langsung terjadi, namun tetap perlu diwaspadai,” ujar Adam.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, kebijakan pemangkasan produksi nikel oleh Kementerian ESDM ini menimbulkan pro dan kontra. Sementara pemerintah berharap langkah ini dapat mendongkrak harga nikel di pasar global, namun para pakar dan aktivis lingkungan mengingatkan bahwa keputusan ini harus memperhatikan aspek ketahanan industri dalam negeri, hilirisasi, serta pelestarian lingkungan agar Indonesia tidak kehilangan peluang besar dari salah satu komoditas andalan ini.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan