Suaraindo.id – Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Pontianak mengecam lambatnya penanganan kasus penembakan yang menimpa seorang warga Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, oleh oknum polisi Briptu AR pada 7 April 2023 lalu. Kasus ini hingga kini dinilai jauh dari prinsip keadilan dan transparansi.
Ketua PMKRI Pontianak, Mikhael Tae, dalam pernyataannya menyampaikan kekecewaan atas proses hukum yang belum menunjukkan hasil yang memadai. Berdasarkan informasi dari keluarga korban dan kuasa hukum, terdapat banyak kejanggalan yang mencuat dalam penanganan kasus tersebut, yang hingga kini belum memberikan kejelasan.
“Pihak keluarga korban sudah melakukan berbagai upaya hukum, termasuk melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri, mengirim surat kepada Presiden serta Kompolnas, namun hingga kini tidak ada kejelasan mengenai keadilan yang mereka perjuangkan,” kata Mikhael Tae.
Menurutnya, kasus ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal hak asasi manusia. “Tidak ada alasan yang dapat membenarkan tindakan aparat yang berujung pada hilangnya nyawa warga sipil,” tegasnya.
PMKRI juga mempertanyakan sanksi ringan yang diberikan kepada Briptu AR, yakni hukuman demosi selama tiga tahun dan penempatan khusus selama 30 hari. Mikhael Tae menilai hukuman tersebut tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan akibat tindakan pelaku. Seharusnya, oknum polisi yang melakukan pelanggaran berat seperti ini diproses secara transparan dan dihukum sesuai dengan hukum pidana yang berlaku.
“Ada kenalan yang mengatakan kalau hukuman membunuh seseorang seringan itu, saya pun mau membunuh orang. Ungkapan itu membuktikan kekecewaan masyarakat terhadap hukum yang tumpul ketika oknum kepolisian diadili,” ungkap Mikhael Tae.
Lebih jauh lagi, PMKRI menilai Kapolda Kalimantan Barat gagal dalam menjamin keadilan dan justru terkesan melindungi anggotanya yang bersalah. “Tindakan Briptu AR adalah kejahatan serius, namun proses hukum yang berlangsung penuh dengan kejanggalan dan cenderung berpihak kepada pelaku,” tambahnya. Hal ini semakin mempengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian, yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, namun justru memberi perlakuan istimewa terhadap anggotanya meskipun terbukti melakukan pelanggaran berat.
Sebagai organisasi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, PMKRI Cabang Pontianak mendesak beberapa langkah konkret untuk menuntut keadilan bagi korban:
Kapolda Kalimantan Barat untuk bertanggung jawab atas gagalnya penegakan hukum dan segera mengambil langkah konkret untuk memastikan transparansi dalam kasus ini.
Transparansi penuh dalam proses hukum terhadap Briptu AR, termasuk membuka hasil penyelidikan kepada publik.
Proses hukum yang adil dan setimpal bagi pelaku, dengan mengedepankan prinsip hukum yang berlaku tanpa ada intervensi atau perlindungan institusional.
Dukungan bagi keluarga korban, baik dalam proses hukum maupun pemulihan sosial akibat tragedi ini.
Komitmen serius dari pemerintah dan institusi kepolisian untuk mencegah tindakan represif oleh aparat serta menjamin keamanan dan hak masyarakat sipil.
Selain itu, PMKRI Cabang Pontianak juga meminta Kapolri untuk mencopot Kapolda Kalbar karena dianggap gagal dalam menjamin keadilan bagi masyarakat. PMKRI Pontianak menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan.
“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat, aktivis, dan organisasi sipil untuk bersama-sama bersuara menentang segala bentuk impunitas dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara,” tegas Mikhael Tae.
PMKRI Pontianak juga merupakan bagian dari Aliansi Lawan Ketidakadilan dan Pelanggaran HAM yang memiliki visi sama untuk mengusut tuntas kasus ini, sehingga keadilan bisa ditegakkan tanpa pandang bulu.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS