Pemerintah NTT dan ICRAF Indonesia Gelar Konsultasi Publik Bahas Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau

  • Bagikan
Pemprov NTT dan ICRAF Indonesia saat kegiatan konsultasi publik Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau.

Suaraindo.id — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) NTT bekerja sama dengan ICRAF Indonesia menggelar konsultasi publik guna membahas Rencana Induk Pertumbuhan Ekonomi Hijau atau Green Growth Plan (GGP).

Kegiatan konsultasi publik yang berlangsung di Hotel Swissbel, Kota Kupang pada Selasa (7/5) ini bermaksud untuk mengumpulkan masukan dari publik secara luas, serta mengumpulkan ide untuk menindaklanjuti dokumen tersebut.

GGP ini diinisiasi oleh pemprov NTT melalui Bapperida bersama ICRAF Indonesia dalam kegiatan riset-aksi Land4Lives atau Lahan untuk Kehidupan, yang disokong oleh pemerintah Kanada.

Penyusunan rencana induk dan peta jalan pertumbuhan ekonomi hijau dimotori oleh pokja pertumbuhan ekonomi hijau NTT, sebuah forum multi-pihak yang melibatkan pemerintah daerah, sektor swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil sebagai pemangku kepentingan.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) NTT tahun 2025-2045 ini, menargetkan NTT menjadi provinsi mandiri, maju, dan berkelanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelestarian lingkungan, penguatan ketahanan pangan, serta kesetaraan akses bagi seluruh masyarakat.

Rencana ini menjabarkan berbagai skenario dan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari sumber daya terbarukan berbasis lahan di NTT tanpa mengorbankan lingkungan hidup, sehingga menjaga ketahanan wilayah terhadap dampak-dampak perubahan iklim.

Terdapat tiga skenario yang ditawarkan dalam Rencana Induk Pertumbuhan ekonomi hijau untuk NTT, yakni pertama adalah melindungi ekosistem penting dan menyesuaikan tata guna lahan dengan tata ruang.

Kedua, melaksanakan tawaran pertama serta meningkatkan produktivitas sektor kopi, jagung, kelapa, kemiri, jambu mete, kakao dan padi melalui penerapan cara bertani baik (GAP).

Selanjutnya, ketiga yaitu memadukan tawaran pertama dan kedua dengan hilirisasi kopi, kelapa, kemiri, vanili, jambu mete, dan perikanan.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Bapperida NTT Alfonsus Theodorus ketika membuka kegiatan konsultasi publik itu, menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi di NTT bisa berjalan sambil menjaga ekosistem.

“Misalnya, kita mau tingkatkan produktivitas kopi, bukan berarti kita babat itu hutan kemudian kita tanam kopi semua, tapi kopi yang sudah ada kita optimalkan. Kita usahakan supaya kopi ini keluar dari NTT sudah dalam bentuk produk,” ujar Alfonsus Theodorus, dalam press release yang diterima media ini.

Merencanakan pembangunan hijau jadi urusan mendesak bagi NTT, yang telah merasakan dampak perubahan iklim.

Fenomena global ini memperburuk kekeringan dan krisis air yang menjadi masalah tahunan, serta meningkatkan intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem.

“Sehingga kita hilirisasi, ekosistem kita terjaga, pertumbuhan kita dorong, rakyat kita makmur,” paparnya.

Dampak perubahan iklim meluas ke sektor pertanian, dengan penurunan produksi komoditas unggulan seperti padi, jagung, dan kopi.

Dia mengatakan, kelompok masyarakat yang paling terdampak adalah mereka yang bergantung pada sumber daya alam, termasuk perempuan, yang mengalami tekanan ganda akibat faktor sosial dan budaya dalam menghadapi perubahan pola cuaca.

Kerugian akibat perubahan iklim dapat diperparah oleh praktik pengelolaan lahan dan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan.

Lingkungan memiliki kapasitas terbatas untuk menopang aktivitas manusia, dan jika batas ini dilampaui, risiko bencana akan meningkat, membawa dampak jangka panjang yang membebani generasi mendatang.

Sementara itu, Arga Pandiwijaya, peneliti geospasial dari ICRAF Indonesia yang menjadi bagian dari kelompok kerja (pokja) ekonomi hijau, menjelaskan bahwa dokumen GGP merekomendasikan enam strategi.

Dia merinci, keenam strategi tersebut yakni pertama, tata guna lahan secara berkelanjutan. Kedua, penguatan kelembagaan dan peningkatan akses terhadap lima modal penghidupan yang sensitif terhadap GEDSI.

Selanjutnya ketiga, optimalisasi produktivitas, diversifikasi, peningkatan daya saing dan nilai tambah sektor unggulan daerah yang berketahanan iklim. Keempat, penguatan rantai nilai dan konektivitas ekonomi wilayah yang berkeadilan.

Kemudian kelima adalah restorasi daerah aliran sungai, lahan, hutan, pesisir dan sumber daya air. Dan keenam, pendanaan inovatif multipihak melalui mekanisme investasi dan insentif jasa lingkungan.

“Pengembangan enam strategi ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mewujudkan visi perencanaan jangka panjang NTT,” ujarnya.

Arga mengatakan, GGP NTT dapat menjadi panduan strategis untuk pembangunan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Sebagai dokumen perencanaan, GGP telah mencakup visi jangka panjang, sasaran yang ingin dicapai, skenario yang telah dirumuskan, serta strategi dan intervensi yang disusun berdasarkan analisis awal (ex-ante) terhadap indikator-indikator kinerja masa depan.

Ia menegaskan, keberhasilan implementasi rencana ini sangat bergantung pada keterlibatan aktif berbagai pihak, termasuk masyarakat, sektor swasta, lembaga keuangan, dan pemangku kepentingan lainnya.

“Kolaborasi lintas sektor ini penting untuk mendorong pengembangan investasi hijau di daerah dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan pelestarian lingkungan. Ekonomi hijau, masa depan kemilau,” pungkasnya.***

  • Bagikan