Simalakama AI untuk Media Massa

  • Bagikan
Agus Sudibyo

Oleh: Agus Sudibyo

Teknologi AI ibarat buah simalakama untuk industri media massa. Menolaknya, membuat media massa kian terisolasi di tengah arus deras perubahan. Menerimanya, juga menciptakan kerentanan manipulasi dan eksploitasi yang semakin mengikis eksistensi media massa di hadapan khalayak.

AI Generatif seperti ChatGPT, Gemini, Claude, dan Midjourney telah mengubah peta industri konten digital secara radikal. Untuk media massa yang sedang terhuyung-huyung oleh tekanan disrupsi, AI generatif seperti berkah yang turun dari langit. Media massa kini mampu memproduksi teks, gambar, video dalam hitungan menit, dengan tingkat kematangan narasi dan visualisasi yang membutuhkan waktu dan biaya besar jika dikerjakan dengan tenaga manusia.

Namun berkah itu bukan hanya untuk insan media, melainkan untuk semua orang. Tak pelak lagi, ruang digital dibanjiri konten dengan beragam kualitas, dari yang jurnalistik hingga yang sekedar spam atau konten sintetis murni buatan mesin. Lonjakan volume konten mewarnai jagat digital. Persoalannya kemudian, bagaimana nasib monetisasi konten jurnalistik? Menjadi lebih mudahkah? Secara faktual, masyarakat sedang menghadapi limpah ruah informasi. Informasi begitu mudah didapatkan di mana saja, tidak hanya di media massa. Bahkan narasi komprehensif dapat diperoleh dari beberapa prompt di aplikasi AI Generatif. Mendorong khalayak untuk tetap mengakses media massa, jelas menuntut upaya yang jauh lebih keras dan strategis di sini.

Pengutamaan Konten Orisinil

Sayangnya, faktor penentunya bukan pada diri media massa sendiri, melainkan pada kebijakan dan keputusan perusahaan platform digital. Semua pihak paham media massa umumnya sangat bergantung —bahkan hingga pada titik yang sangat rentan— pada platform media sosial dan mesin pencari untuk meraih trafik, membangun interaksi sosial, dan mengonversinya menjadi pendapatan iklan. Karena itu, setiap perubahan yang dilakukan platform digital guna beradaptasi dengan ledakan pengaruh teknologi AI juga berdampak langsung pada praktik bermedia massa secara keseluruhan.

Perubahan yang dimaksud misalnya ketika lonjakan volume konten buatan AI memaksa platform besar seperti Google dan Meta memperketat kurasi dan penilaian kualitas konten yang disebarkan  melalui platform mesin pencarian dan media sosial yang mereka operasikan.

Google telah menata ulang algoritma pencariannya untuk mengurangi dominasi konten sintetis berkualitas minimal di tampilan hasil pencarian. Google berusaha memisahkan antara konten murni buatan AI dengan konten dengan sentuhan editorial manusia (original content). Dalam kerangka ini, Google menerapkan standar E-E-A-T (Experience, Expertise, Authoritativeness, Trustworthiness) guna memastikan konten dengan nilai informasional tinggi diprioritaskan dalam peringkat hasil pencarian. Experience menuntut pengalaman langsung penulis, Expertise mengharuskan keahlian penulis yang dapat diverifikasi, Authoritativeness menekankan otoritas sumber yang digunakan, dan Trustworthiness mengacu pada tingkat keandalan konten, termasuk akurasi fakta, transparansi sumber, dan integritas penulis atau media massa.

Meta, induk perusahaan dari Facebook dan Instagram, menghadapi tantangan serupa dengan lokus yang berbeda. Mereka telah menerapkan algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan interaksi sosial di sekitar konten pengguna. Namun, banjir konten AI generatif beresiko mengurangi makna dan nilai ekonomi dari interaksi tersebut. Mengantisipasi hal ini, Meta kemudian menerapkan prinsip Meaningful, Informative, dan Accurate. Konten yang dibagikan pengguna mesti relevan dengan minat dan kebutuhan pengguna yang lain, memberikan wawasan atau perspektif baru, serta didasarkan pada fakta yang terverifikasi.

Sampai di sini, Google dan Meta telah berkontribusi menciptakan filter untuk menjaga kualitas konten yang beredar di jagat maya. Konten orisinal tiba-tiba menjadi “paradigma” dan media massa seperti menemukan jalan kembali ke khittah sebagai penyedia informasi yang bernilai dan terpercaya.

Persoalannya kemudian, apakah periklanan digital juga telah berubah semakin mengapresiasi konten orisinil? Inilah masalah peliknya. Sistem periklanan digital sejauh ini masih bertumpu pada metrik kuantitatif: trafik, impressions, click-through rate (CTR), dan durasi keterpaparan (dwell time). Artinya, meskipun Google dan Meta telah mengafirmasi konten berkualitas melalui E-E-A-T dan prinsip meaningfulness, insentif finansial di ekosistem periklanan umumnya masih memprioritaskan skala distribusi konten, alih-alih kedalaman atau kebermaknaan konten. Media massa yang kembali fokus mengejar kualitas konten tetap menghadapi kesulitan monetisasi, sementara para peternak konten klikbait tetap bisa memproduksi ribuan konten untuk menguasai inventori iklan.

Inkonsistensi ini menimbulkan kegamangan para pengelola media massa.  Di satu sisi mereka harus menyesuaikan dengan algoritma distribusi konten yang menuntut peningkatan orisinalitas konten, di sisi lain mereka menghadapi fakta bahwa konten orisinal tetap sulit dimonetisasi. Jika tetap tidak ada insentif yang memadai untuk konten orisional, mereka bisa jadi tergoda untuk kembali mengintensifkan produksi konten yang sensasional, clickbait, dengan nilai informasi yang rendah. Padahal distribusi konten yang demikian juga ini telah dibatasi oleh perubahan algoritma seperti  dijelaskan di atas.

Jika pengutamaan konten orisinal ternyata tidak serta merta menguntungkan media massa, apa sesungguhnya motif Google dan Meta sebagai sponsor utamanya? Tanpa mengesampingkan dampak positifnya, pengutamaan konten orisinal sesungguhnya lebih mencerminkan strategi kedua raksasa teknologi itu untuk mempertahankan kepentingan bisnis di tengah ledakan konten buatan AI generatif.  Mereka berupaya untuk membangun citra sebagai penopang ruang publik digital yang beradab, menjaga agar pengguna tetap menghabiskan waktu lebih lama di platform mereka sehingga peluang penayangan iklan tetap tinggi, mempertahankan minat pengiklan premium yang ingin beriklan di lingkungan konten yang aman dan kredibel, serta megantsipasi peningkatan biaya storage dan computing akibat membanjirnya konten sintetis berkualitas rendah.

Di saat yang sama, mereka sesungguhnya ingin mengamankan suplai materi berkualitas tinggi untuk melatih model AI yang lebih cerdas. Dengan demikian, kebijakan pengutamaan konten orisinal itu lebih mencerminkan strategi platform digital untuk mempertahankan reputasi dan kendali atas pasar periklanan, sekaligus untuk melakukan dataveillance secara gratis tetapi berkualitas. Dukungan terhadap kepentingan media massa dalam hal ini lebih merupakan efek samping, bukan tujuan utama yang disengajakan.

Ketidakselarasan Insentif

Proses dataveillance itu melahirkan simalakama berikutnya untuk industri media massa. Singkat kata, semua platform digital, termasuk Google dan Meta, sesungguhnya tengah mengembangkan model AI generatif dan AI prediktif mereka sendiri. Untuk itu, mereka membutuhkan data corpus pelatihan model AI yang relevan, berkualitas, dan buatan manusia (bukan mesin). Jika ruang digital dibanjiri konten spam atau konten sintetis buatan AI, data corpus pelatihan model AI terkontaminasi (data poisoning) sehingga model AI yang dihasilkan juga menurun kualitasnya. Dengan kata lain, penerapan sistem E-E-A-T dan prinsip Meaningful, Informative, Accurate sesungguhnya untuk membersihkan pasokan data untuk pipeline pelatihan model AI. Platform digital ibaratnya sedang menjala “nutrisi bergizi gratis” yang membuat produk AI generatif atau prediktif mereka semakin sehat dan cemerlang.

Yang terjadi kemudian adalah ketidakselarasan insentif (incentive misalignment) antara media massa  dan platform pengembang model AI. Konten jurnalistik berkualitas menjadi “nutrisi bergizi tinggi” penopang kecerdasan AI, tetapi manfaat ekonomi dari AI tersebut tidak kembali kepada media massa sebagai pembuat konten, alih-alih dikuasai oleh sang pengembang model AI.

Di era link economy (sebelum ledakan AI), pengguna terpola untuk mencari konten di mesin pencarian atau feed media sosial. Lalu pengguna mengklik artikel atau tautan yang ditemukan di sana. Waktu baca terjadi di situs yang diklik pengguna, dan dari situlah pendapatan iklan, berlangganan, atau sponsorship mengalir ke publisher. Ledakan AI generatif lalu membawa kita era answer economy. Pada era ini, pencarian pengguna diselesaikan secara langsung oleh mesin pencarian lewat AI overview (ringkasan jawaban). Pertanyaan pengguna juga dijawab dan didialogkan langsung oleh ChatGPT dengan menyertakan link-link sumbernya. Ketika kebutuhan informatif praktis tercukupi di sana, semakin kecil dorongan bagi pengguna untuk meng-klik ke sumber asli, katakanlah website media.

Ketidakadilan lalu terjadi di sini. Di satu sisi, media massa menanggung biaya untuk peliputan lapangan, wawancara, verifikasi, pencarian data, penyuntingan, dan desain visual. Di sisi lain, pengembang AI memanfaatkan konten milik media massa yang lahir dari proses tersebut secara “cuma-cuma”. Di satu sisi, media massa semakin kehilangan nilai ekonomi dari konten jurnalistik yang dihasilkannya, di sisi lain pengembang AI menguasai nilai ekonomi yang bersandar pada pemanfaatan konten jurnalistik itu. Belum adanya kewajiban universal pengembang model AI untuk membayar biaya produksi konten yang telah mereka gunakan untuk melatih model AI, maka pemanfaatan konten dimaksimalkan oleh platform pengembang AI, sementara biaya penciptaan konten tetap menjadi beban si pembuat konten. Sekali lagi, inilah inti incentive misalignment: hasil di satu pihak, biaya di pihak yang lain.

Apa yang mesti dilakukan dalam hal ini? Eksistensi media massa hari ini sangat tergantung pada kemampuan pengelolanya untuk membangun dan menerapkan sistem pelacakan konten orisinal yang diekstraksi dan dimanfaatkan secara sepihak, katakanlah oleh pengembang AI generatif. Hasil pelacakan itu mesti digunakan untuk memaksa platform digital memberi kompensasi proporsional atas konten jurnalistik yang mereka rekayasa untuk pelatihan model AI. Regulasi Publisher Right harus dimaksimalkan di sini. Hal yang tak kalah penting adalah membangun kemandirian relatif media massa terhadap platform digital. Lalu lintas distribusi konten yang dulu terkonsolidasi pada Google Search atau Facebook atau Instagram, kini telah terfragmentasi ke aplikasi chatbot, platform video pendek, dan agregator berbasis AI. Ini artinya, monetisasi konten melalui mesin pencarian dan media sosial telah tergoyahkan dan tidak bisa menjadi sandaran satu-satunya. Inilah saatnya bagi media massa untuk kembali kepada prinsip-prinsip direct sales dan direct traffic, yakni mengelola khalayak dan rekanan bisnisnya secara relatif mandiri, tanpa sepenuhnya tergantung pada campur-tangan pihak eksternal.

*Penulis adalah Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat

  • Bagikan