Top 3 Tekno Berita Kemarin: Prediksi Lonjakan Covid-19, Virus Nempel di Kulit

  • Bagikan
Massa gabungan dari buruh dan mahasiswa merobohkan pagar kompleks gedung DPRD Jateng saat berunjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang telah disahkan oleh DPR RI di depan gedung DPRD Jateng, Kota Semarang, Rabu, 7 Oktober 2020. Aksi penolakan yang dihadiri ribuan massa gabungan tersebut berakhir ricuh, pihak kepolisian masih memburu para penyusup di antara pengunjuk rasa yang diduga melakukan provokasi kericuhan. ANTARA/Aji Styawan

Suaraindo.id- Top 3 Tekno Berita Kemarin seluruhnya terkait Covid-19. Yang pertama berisi kecemasan dokter dan ahli epidemiologi akan prediksi lonjakan kasus positif pasca demo penolakan terhadap UU Cipta Kerja besar di banyak daerah. Baik peserta demo itu maupun pemerintah yang memicunya mendapat sorotan.

Berita kedua mengenai informasi kampus yang terpaksa tutup sementara karena kasus penyakit yang sama. Kali ini dilaporkan Universitas Lampung yang melakukannya menyusul hasil rapid dan swab test yang dilakukan atas staf dan pengajar.

Berita terpopuler ketiga spesifik tentang SARS-CoV-2, virus corona penyebab Covid-19. Peneliti di Jepang melakukan penelitian menggunakan model kulit manusia dan mendapati virus itu bisa hidup di sana selama 9 jam, atau bahkan 11 jam jika terbungkus droplet.

Berikut ini Top 3 Tekno Berita Kemarin, Jumat 9 Oktober 2020, selengkapnya

1. Dokter dan Epidemiolog Ngeri Lonjakan Kasus Covid-19 Pasca Demo Omnibus

Demonstrasi besar menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di banyak daerah memicu kekhawatiran memunculkan klaster baru penularan penyakit infeksi virus corona 2019 alias Covid-19. Jangankan kontak fisik yang terjadi, seruan-nyanyian-orasi pun bisa menjadi sumber droplet dan aerosol berisi virus yang mudah menular itu.

Hal itu karena ribuan, bahkan puluhan ribu, orang datang dari berbagai daerah yang sebagian besar tidak hanya mengabaikan jarak fisik namun juga tidak mengenakan masker. “Jika terinfeksi, mereka dapat menyebarkan virus saat kembali ke komunitasnya,” kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), M. Adib Khumaidi, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat 9 Oktober 2020.
Dia menjelaskan, dari sisi medis dan berdasarkan sains, demonstrasi berisiko lebih tinggi daripada aktivitas yang lain dalam penularan Covid-19. Dia memperkirakan, dampak dari demo besar sepanjang Kamis itu, akan terjadi lonjakan masif yang akan terlihat dalam waktu 1-2 minggu mendatang.
2. Universitas Lampung Tambah Daftar Kampus Tutup Sementara Karena Covid-19
Universitas Lampung memutuskan menutup sementara lingkungan kampusnya per hari ini, Jumat 8 Oktober 2020, selama 14 hari ke depan. Keputusan diambil setelah hasil rapid test  dan swab test Covid-19 menunjukkan sejumlah staf dan dosen positif terinfeksi virus.

“Benar ada staf dan tenaga pendidik yang terpapar Covid-19, sehingga kami berlakukan work from home,” ujar juru bicara Rektor Unila, Nanang Trenggono, saat dihubungi di Bandarlampung, Kamis 8 Oktober 2020.

Dia menerangkan, rapid test Covid-19 dilakukan bagi karyawan dan dosen pada minggu lalu. Swab test lalu dilakukan setelah mengetahui ada beberapa orang yang reaktif dari hasil rapid test itu.

3. Peneliti Jepang Tunjukkan SARS-CoV-2 Bisa Hidup di Kulit 9 Jam

Sebuah studi baru di Jepang menemukan virus corona jenis baru penyebab Covid-19 bisa bertahan hidup pada kulit manusia jauh lebih lama daripada virus flu umumnya. SARS-CoV-2 hidup di sampel kulit manusia di laboratorium selama sekitar sembilan jam.

Itu kontras dengan sebuah galur virus influenza A yang juga digunakan dalam studi itu. Virus flu A didapati hanya dapat bertahan hidup pada sampel yang sama hanya selama dua jam. Tapi, beruntungnya, kedua jenis virus corona itu, yang hidup lebih lama maupun lebih singkat, sama tidak tahan terhadap hand sanitizer.

Temuan ini menggarisbawahi pentingnya mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer untuk mencegah penularan Covid-19. Temuan juga membuktikan SARS-CoV-2 memiliki risiko lebih tinggi untuk penularan lewat kontak fisik karena lebih stabil di permukaan kulit ketimbang virus flu A.

  • Bagikan