CDC AS Sebut COVID RI Terkendali, Epidemiolog: Situasi Belum Sepenuhnya Aman

  • Bagikan
Pengendara sepeda motor terlihat di dekat mural yang mengingatkan risiko wabah COVID-19 di Jakarta, 1 Desember 2020. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) Amerika Serikat (AS) menurunkan level COVID untuk Indonesia ke level 1 atau “rendah untuk penularan COVID-19”. CDC AS menganggap situasi pandemi di Tanah Air dianggap telah terkendali.

Warga AS kini sudah dapat mengunjungi Indonesia. Namun, CDC tetap merekomendasikan warganya untuk melakukan vaksinasi penuh sebelum bepergian ke Indonesia.

“Wisatawan harus mengikuti rekomendasi atau persyaratan di Indonesia, termasuk mengenakan masker dan menjaga jarak dua meter dari orang lain,” ungkap CDC.

Turis berjalan di pantai saat pemerintah memperpanjang PPKM di Badung, Bali, 9 September 2021. (Foto: Antara/Nyoman Hendra Wibowo via REUTERS)
Turis berjalan di pantai saat pemerintah memperpanjang PPKM di Badung, Bali, 9 September 2021. (Foto: Antara/Nyoman Hendra Wibowo via REUTERS)

Ahli Epidemiologi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Riris Andono mengungkapkan pengakuan dari CDC tersebut memang menunjukkan bahwa situasi pandemi di Indonesia saat ini cukup terkendali. Namun ia menggarisbawahi situasi yang baik ini bukanlah sesuatu yang permanen, sehingga pemerintah dan masyarakat diimbau untuk tetap waspada dengan adanya gelombang kenaikan kasus di kemudian hari.

“Sekarang kita belajar bahwa herd immunity itu ada beberapa negara misalnya Singapura sudah mencapai herd immunity karena target coverage vaksinasinya tercapai. Tetapi herd immunity itu ,durasi dari vaksin atau vaksin natural itu tidak lama,” katanya kepada VOA.

Begitu durasi imunitas selesai, lanjut Riris, maka herd immunity menjadi hilang. Dan hal itu terlihat di Singapura yang mengalami kenaikan kasus COVID-19 lagi.

Maka dari itu, Riris mengatakan strategi utama pengendalian pandemi yakni 3T (testing, tracing,treatment), menegakkan protokol kesehatan 3M dan memperluas cakupan vaksinasi harus dilakukan terus menerus. Menurutnya, penularan terjadi karena tidak adanya imunitas di dalam suatu populasi, kemudian adanya interaksi di antara masyarakat yang mempunyai imunitas dan tidak mempunyai imunitas. Selain itu, ditambah dengan tingkat mobilitas yang saat ini sudah naik signifikan maka tidak menutup kemungkinan bahwa perebakan wabah virus corona akan selalu terjadi.

Seorang pasien COVID-19 beristirahat di tanah di luar tenda darurat yang didirikan di luar rumah sakit di tengah lonjakan kasus COVID-19 di Bekasi, 25 Juni 2021. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)
Seorang pasien COVID-19 beristirahat di tanah di luar tenda darurat yang didirikan di luar rumah sakit di tengah lonjakan kasus COVID-19 di Bekasi, 25 Juni 2021. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

“Gelombang ketiga itu sebuah keniscayaan. Cuma kapan dan berapa besar naiknya itu tergantung kepada mobilitas, dan bagaimana kita menjaga protokol kesehatan kita. Bisa jadi pas Natal, bisa jadi pas ada long weekend. Itu yang ketika pada saat itu kita tetap waspada ya bisa jadi peningkatan kasus akan kecil atau besar, but at some time itu akan terjadi juga,” tuturnya.

Penurunan Kasus

Lebih lanjut, Riris mengakui masih harus melakukan penelitian terkait faktor dominan apa yang menyebabkan penurunan kasus di Indonesia begitu signifikan setelah dihantam oleh varian Delta yang begitu dahsyatnya. Ia menilai, penurunan kasus yang terjadi di Jakarta misalnya bisa dimengerti karena sebelum varian Delta muncul, tingkat prevalensi warga Ibu Kota yang sudah mempunyai antibodi mencapai 50 persen. Hal tersebut juga ditambah dengan faktor cakupan vaksinasi COVID-19 yang cukup tinggi dibanding provinsi-provinsi lain.

Para pelanggan mengenakan masker wajah membeli kopi di jalan di tengah pandemi virus corona (Covid-19), Jakarta, 19 Agustus 2020. (Foto: Reuters)
Para pelanggan mengenakan masker wajah membeli kopi di jalan di tengah pandemi virus corona (Covid-19), Jakarta, 19 Agustus 2020. (Foto: Reuters)

“Tetapi di daerah lain yang saya masih belum menemukan jawabannya, karena prevalensi infeksinya kan tidak setinggi Jakarta, Jakarta kan jadi episentrum sejak awal pandemi, kemudian dari waktu ke waktu dia juga kasusnya paling banyak, jadi kalau Jakarta masuk akal (turun), di tempat lain itu yang masih menjadi pertanyaan besar,” jelasnya.

“Sebagai sebuah fakta, (Indonesia) memang terkendali tetapi faktor apa yang dominan itu yang perlu investigasi lebih lanjut. (Kita Lihat) Singapura, sebuah negara kecil populasinya terbatas, vaksinasinya bagus, sistem kesehatannya juga bagus tapi bisa meningkat lagi kasusnya,” tambahnya.

Situasi Belum Aman

Sementara itu, Ahli Epidemilogi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan tidak hanya CDC AS, Inggris juga telah mengeluarkan Indonesia dari daftar merahnya pada awal Oktober lalu. Hal tersebut, katanya, merupakan pengakuan bahwa telah terjadi perbaikan perfoma pengendalian pandemi di Indonesia. Tentunya ini terjadi atas kerja sama dari semua pihak yakni pemerintah dan juga semua lapisan masyarakat.

Meski begitu, Dicky mengingatkan semua pihak bahwa hal ini bukan berarti menunjukkan kalau situasi sudah aman. Risiko terjadinya kenaikan kasus COVID-19 akan selalu ada.

“Yang harus dipahami adalah bukan berarti tidak ada risiko. Makanya yang datang harus divaksinasi penuh, dan ketika balik ke negaranya harus menjalani karantina, artinya bukan berarti Indonesia dianggap aman, bukan. Dan disebut berhasil ya tentu dalam konteks berhasil ada perbaikan, iya,” kata Dicky.

Menurutnya hingga saat ini belum ada negara yang mencapai herd immunity. Dan jalan untuk mencapai kekebalan itu, kata Dicky, masih panjang karena belum ada vaksin yang bisa mencegah penularan.

Selain itu, Dicky menambahkan bahwa masih banyak negara, seperti negara Skandinavia dan banyak negara di Eropa, yang masih belum menempatkan Indonesia dalam kategori aman terkait pandemi COVID-19. Menurutnya, pengakuan seperti ini adalah hal yang lumrah mengingat setiap negara memiliki kewenangan untuk membuat suatu kriteria untuk menentukan negara mana yang dianggap aman.

“Itu hak masing-masing negara, dan bahkan ada yang membuat resiprokal. Sehingga pesan pentingnya adalah tidak euphoria dengan adanya pengakuan dan penilaian seperti ini. Kita juga harus introspeksi bawah ketika melihat kondisi, situasi pengendalian pandemi suatu negara bukan hanya dilihat dari angka absolut tapi kita lihat level transmisi kita ada di mana,” jelas Dicky.

Para pengunjung tetap menggunakan masker saat berbelanja menjelang hari raya Idul Fitri di Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat pada 3 Mei 2021. (Foto: Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana)
Para pengunjung tetap menggunakan masker saat berbelanja menjelang hari raya Idul Fitri di Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat pada 3 Mei 2021. (Foto: Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana)

Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), level penularan COVID-19 di Indonesia masih berada di dalam level terendah yakni level transmission community. Ini artinya, Indonesia belum bisa menemukan dan mencegah banyak kasus di masyarakat.

Menurutnya, situasi pandemi di Indonesia baru bisa dikatakan aman apabila sudah ada pengakuan dari WHO bahwa Indonesia sudah memasuki level 1 atau 2 yang artinya tidak kasus konfimasi positif selama 28 hari berturut-turut.

“Tapi dalam laporan WHO, kita belum dikateogorikan itu. Jadi artinya PRnya masih banyak, dan belum ada satu provinsi pun yang keluar dari level itu, walaupun sudah ada perbaikan,” katanya.

Sehingga, menurutnya, wisatawan asing belum bisa secara tenang sekali mengunjungi Indonesia dan negara lain karena jika ada banyak negara belum aman, maka bisa dipastikan dunia belum sepenuhnya aman dari COVID-19. Wisatawan diimbau untuk melakukan vaksinasi penuh sebelum bepergian, dan tetap menjaga protokol kesehatan 5M. [gi/ah]

  • Bagikan