Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang
Dalam komunikasi publik, arti dan makna kriminalisasi seringkali diartikan dan dimaknai secara negatif, yakni sebagai upaya untuk mengkriminalkan/memidanakan seseorang yang seharusnya tidak bersalah. Kriminalisasi juga seringkali dipahami sebagai wujud arogansi kekuasaan dan intervensi politis untuk memproses hukum seseorang yang secara hukum sebenarnya tidak bersalah. Padahal, secara akademis, makna dan arti kriminalisasi bukanlah demikian.
Dalam doktrin ilmu kriminologi dan hukum pidana, kriminalisasi diartikan sebagai formulasi secara yuridis suatu perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi sebuah tindak pidana melalui proses legislasi. Kebalikan dari kriminalisasi adalah dekriminalisasi, yakni formulasi secara yuridis suatu perbuatan yang semula merupakan tindak pidana menjadi bukan tindak pidana.
Secara substantif, kriminalisasi maupun dekriminalisasi pada hakikatnya memiliki relasi erat dengan dinamisasi sosial dan aktualisitas kebutuhan hukum masyarakat. Oleh sebab itu, terkait kriminalisasi maupun dekriminalisasi suatu perbuatan tentunya harus memiliki ukuran, tujuan, basis argumentasi, utilitas, serta nilai urgensinya bagi kehidupan masyarakat.
Menurut Prof. Sudarto dalam buku Hukum dan Hukum Pidana (1983) terdapat 4 syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan kriminalisasi. Pertama, tujuan kriminalisasi adalah untuk menciptakan ketertiban masyarakat dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Kedua, perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan menimbulkan korban.
Ketiga, harus memperhatikan faktor biaya dan hasil, berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang. Keempat, memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat penegak hukum melampaui beban tugasnya sehingga tidak efektif.
Selanjutnya, menurut Herman Manheim (1965), ada 3 aspek yang harus diperhatikan ketika mengkriminalisasi suatu perbuatan. Pertama, adanya sikap yang sama dari masyarakat atau mendapat dukungan luas dari masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa perbuatan yang dikriminalisasi harus merupakan perbuatan yang dianggap merugikan bagi masyarakat luas dan bertentangan dengan nilai-nilai fundamental bangsa.
Kedua, tidak sulit dalam teknis pelaksanaannya. Baik dalam konteks infrastruktur penegakan hukumnya maupun dalam konteks aspek pembuktiannya. Ketiga, sesuai dengan obyek hukum pidana. Artinya perbuatan yang dikriminalisasi harus sesuai dengan obyek sasaran hukum pidana atau tidak mencampuri urusan yang bersifat keperdataan.
Kriminalisasi LGBT
Dalam fenomena aktual, muncul wacana kriminalisasi terhadap perbuatan LGBT (Lesbian, Gay, Biseks, dan Transeksual), karena dinilai bertentangan dengan nilai sosio-religius dan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pro dan kontra pun menyeruak dalam ruang publik, pihak yang kontra umumnya didasari argumentasi aspek HAM (Hak Asasi Manusia) dan faktor orientasi seksual yang seharusnya tidak dipidana. Sedangkan pihak yang pro, menilai LGBT bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, dan Pancasila.
Secara hukum pidana, saat ini perbuatan LGBT memang tidak bisa dipidana, karena belum ada pasal dalam undang-undang yang mengatur perbuatan LGBT sebagai tindak pidana. Hal ini sejalan dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa perbuatan yang bisa dipidana harus diatur terlebih dahulu dalam undang-undang sebagai tindak pidana. Saat ini, perbuatan LGBT sendiri hanya bisa dikenakan dengan sanksi otonom atau sanksi yang tidak berasal dari entitas kekuasaan negara secara yuridis. Sanksi otonom berasal dari pribadi/diri sendiri (misalnya, rasa malu) maupun nilai kesusilaan dan aspirasi sosio-kultural (sanksi sosial, misalnya pengucilan).
Kemudian, terkait kriminalisasi perbuatan LGBT, dalam hal ini juga perlu ditegaskan kembali bahwa yang dikriminalisasi bukanlah orientasi seksualnya, tetapi perbuatannya (soal klasifikasi perbuatan LGBT apa saja yang akan dikriminalisasi itu soal lain). Hal tersebut sejalan dengan asas hukum pidana ‘cogitationis poenam nemo patitur’ bahwa tidak ada seorangpun dapat dihukum atas apa yang ada dalam kepala (ex: pikiran atau orientasi seksual). Artinya, pikiran maupun orientasi seksual tidak bisa dipidana sepanjang tidak diejawantahkan dalam perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana.
Di sisi lain, kekosongan hukum terkait pemidanaan LGBT mendorong wacana kriminalisasi LGBT melalui pengesahan RUU KUHP yang didalamnya diatur mengenai beberapa perbuatan LGBT yang diancam pidana. Namun juga ada alternatif ide untuk membuat undang-undang sendiri terkait kriminalisasi perbuatan LGBT. Menurut hemat penulis, upaya kriminalisasi perbuatan LGBT sendiri harus ditelaah dalam tiga aspek.
Pertama, kriminalisasi sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana pada prinsipnya adalah pengejawantahan dari nilai fundamental negara, yakni Pancasila, yang merupakan dasar negara sekaligus sumber dari segala sumber hukum nasional. Artinya, hukum positif yang berlaku dalam hal ini hukum pidana adalah untuk memperkuat eksistensi nilai-nilai Pancasila sekaligus untuk mencegah tumbuhnya perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Berdasarkan aspek ini, maka kriminalisasi perbuatan LGBT merupakan alasan yang rasional dan fungsional. Karena secara substantif, pebuatan LGBT jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama dan sila kedua.
Kedua, pembatasan HAM konstitusional. Berdasarkan konstitusi UUD NRI tahun 1945 khususnya Pasal 28 J, HAM dapat dibatasi melalui undang-undang dengan dua alasan, yakni untuk menjamin HAM orang lain dan terkait pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan nilai moral, agama, keamanan, dan ketertiban. Oleh sebab itu, kriminalisasi LGBT harus dikonstruksikan sebagai langkah pembatasan HAM yang konstitusional guna pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, agama, keamanan, dan ketertiban.
Ketiga, pengkajian aspek teknis. Baiknya aspek teknis terkait kriminalisasi perbuatan LGBT harus dikaji secara komprehensif dahulu. Perbuatan-perbuatan LGBT apa saja yang dikriminalisasi harus mempertimbangkan aspek dan faktor sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Sudarto dan Herman Manheim di atas, guna mencegah over kriminalisasi dan kontraproduktif secara praktis dalam penegakan hukum.