Kalimantan Barat: Ancaman Ketahanan Pangan Akibat Dominasi Monokultur Kelapa Sawit

  • Bagikan
SUARAINDO.ID/SK

Suaraindo.id – Penanaman kelapa sawit secara monokultural di Kalimantan Barat semakin menimbulkan keprihatinan. Dominasi satu jenis tanaman yang menyelimuti lahan luas ini, menurut Wakil Direktur Institut Dayakilogi, telah menggusur keberagaman pertanian rakyat, yang memaksa komoditas pangan lain terpinggirkan. Alih fungsi lahan dari karet, padi, hingga hutan adat menjadi kebun sawit semakin menegaskan bahwa tanaman pangan lokal tidak lagi mendapat ruang, sementara ketergantungan pada impor bahan pokok semakin mendalam.

“Transformasi lahan menjadi kebun sawit tidak hanya merusak keberagaman produk pangan lokal, tetapi juga memperburuk ketergantungan masyarakat pada bahan pokok yang kian mahal,” ujar Wakil Direktur Institut Dayakilogi, dalam pernyataannya yang diterima Suarakalbar.co.id, Selasa (13/5/2025).

Data terbaru menunjukkan, pada tahun 2023, Kalimantan Barat menghasilkan sekitar 6,45 juta ton CPO dari lebih 2,14 juta hektar kebun kelapa sawit. Sementara itu, luas lahan padi hanya sekitar 224.068 hektar, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan luasan kebun sawit. Ironisnya, lahan rawa seluas 2,94 juta hektar yang berpotensi untuk pengembangan pertanian pangan justru diabaikan oleh pemerintah.

Bahkan, Sensus Pertanian 2023 mengungkapkan adanya penurunan signifikan jumlah petani, terutama generasi milenial, yang kini lebih memilih sektor non-pertanian karena rendahnya insentif dan kesulitan akses terhadap pupuk bersubsidi. Situasi ini semakin memperburuk krisis regenerasi petani dan memperlemah ketahanan pangan jangka panjang.

Sistem kapitalistik yang saat ini dominan dalam pengelolaan sumber daya alam terbukti tidak memprioritaskan kepentingan rakyat. Alih fungsi hutan demi ekspansi kelapa sawit semakin memperburuk kerusakan alam, meningkatkan frekuensi banjir, dan mengancam keberlanjutan ekosistem. Sementara itu, food estate yang dijanjikan sebagai solusi malah mandek dan lebih mengutamakan investasi besar ketimbang pemberdayaan petani lokal.

Keadaan ini hanya menambah beban perekonomian negara yang semakin bergantung pada impor pangan, yang tak hanya menggerus cadangan devisa tetapi juga memperburuk ketergantungan ekonomi nasional terhadap negara lain.

Berbeda dengan sistem yang ada saat ini, Islam menawarkan paradigma yang lebih adil dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam sistem Islam (Khilafah), tanah dipandang sebagai aset publik yang harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk dieksploitasi oleh korporasi besar. Hutan dan tanah pertanian dijaga dan dikelola sesuai hukum syariah dengan tujuan melestarikan alam dan menjamin ketahanan pangan masyarakat.

Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur, negara memiliki kewajiban untuk mengatur sektor pertanian demi mencapai tingkat produksi yang tinggi, dengan memperhatikan kelestarian lahan dan ekosistem, bukan membiarkan sistem pasar bebas merusak kehidupan masyarakat.

Dalam sistem Khilafah, negara bertindak sebagai pelayan langsung kebutuhan pangan rakyat. Negara memiliki tanggung jawab untuk mengoptimalkan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, memperkenalkan teknologi pertanian modern, dan memastikan distribusi pangan yang adil, tanpa ada penimbunan atau kartel.

“Pemilik lahan wajib mengelola tanahnya secara produktif atau negara berhak menyita dan mendistribusikannya kepada mereka yang lebih produktif. Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW,” kata seorang ahli ekonomi Islam.

Melalui sistem ini, ketahanan pangan Kalimantan Barat dan nasional dapat terjamin dengan cara yang adil, berkelanjutan, dan berkah.

Monokultur kelapa sawit bukanlah masalah jika dikelola dengan bijak sesuai dengan syariat Islam. Yang menjadi masalah adalah kapitalisme yang mendorong eksploitasi lahan secara serakah demi keuntungan semata, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat dan kelestarian alam. Oleh karena itu, untuk mengatasi ancaman terhadap ketahanan pangan, bangsa ini perlu beralih kepada ideologi Islam kaffah yang menempatkan sumber daya alam sebagai hak publik yang wajib dilindungi oleh negara.

“Jika bangsa ini tetap mempertahankan sistem kapitalistik, maka ancaman terhadap ketahanan pangan akan semakin parah. Saatnya kita menyadari bahwa solusi mendasar bukan sekadar moratorium sawit atau proyek food estate tambal sulam, tetapi perubahan ideologi—kembali kepada Islam yang melindungi kepentingan rakyat,” tutupnya.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan