Tegas, BPC HIPMI Kaur Ingin Kebebasan untuk Mardani H Maming dan Pemulihan Nama Baiknya

  • Bagikan
Foto: Ist/ Suaraindo.id

Suaraindo.id- Pemerintahan Prabowo-Gibran membawa harapan baru dalam kasus Mardani H Maming, yang mendapatkan ketidakadilan dalam kasus gratifikasi dan suap saat ia menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.

Dalam kasus ini Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Kalimantan Selatan, telah memvonis Mardani H. Maming dengan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Mardani juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar.

Padahal secara kajian sejumlah guru besar seperti, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum juga menyampaikan desakan yang sama.

Profesor yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro periode 2019-2024, juga menyoroti kekhilafan dalam putusan pemidanaan ters

Ia menyatakan bahwa keputusan Mardani H. Maming selaku Bupati terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasi adalah sah dan tidak pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.

Melihat Analisa kedua pesohor hukum ini, Ketua Umum BPC HIPMI Kaur, Alifa Abdillah menilai perlunya atensi dari pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menjaga keadilan hukum dan tidak membiarkan hukum diintervensi.

“Kami berharap pemerintahan Prabowo-Gibran akan menjaga keadilan hukum dan tidak membiarkan hukum diintervensi atau digunakan untuk menghukum orang yang tidak terbukti bersalah” ujarnya.

Senada dengan itu, Prof. Dr, Topo Santoso, SH, MH menilai putusan terhadap pengusaha Mardani H Maming terdapat kekhilafan dari haki, sehingga ia meminta agar terdakwa segera dibebaskan.

Akademisi yang juga menjabat sebagai Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor dan RUU KUHP Nasional ini menyatakan ada beberapa hal yang menunjukkan kekeliruan hakim yang mengadili Mardani H Maming.

“Putusan pengadilan atas Mardani H Maming dengan jelas memperlihatkan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Unsur menerima hadiah dari pasal yang didakwakan tidak terpenuhi karena perbuatan hukum dalam proses bisnis seperti fee, dividen, dan utang piutang merupakan hubungan keperdataan yang tidak bisa ditarik dalam ranah pidana,”katanya.

Apalagi, ada putusan Pengadilan Niaga yang ditempuh dalam mekanisme sidang terbuka. Putusan itu menyatakan tidak terdapat kesepakatan diam-diam, karena itu tidak ada hubungan sebab akibat antara keputusan terdakwa selaku Bupati dengan penerimaan fee atau dividen.

“Sehingga tidak terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas,” kata akademisi yang juga menjadi pengajar pendidikan calon Hakim Tipikor di Mahkamah Agung ini.

Contoh nyata kasus Mardani Maming, dimana tidak ada bukti konkret tetapi tekanan hukum terus diberikan. Dalam hukum, Mardani tidak memenuhi unsur pidana sesuai Pasal 12 huruf b UU PTPK karena kurangnya bukti di persidangan.

“Untuk itu, korban kekeliruan seperti Mardani Maming seharusnya dibebaskan dan nama baiknya dipulihkan untuk menjaga martabat dan integritas hukum Indonesia,” ujarnya.

Pernyataan Alifa ini juga didukung oleh, Tim Anotasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran saat mempresentasikan kajian mengenai kasus yang menimpa Mardani H Maming

Berdasarkan poin-poin yang mereka bahas, Tim Anotasi Fakultas Hukum Unpad meminta agar Mardani H Maming segera dibebaskan.

“Tim Anotasi menyimpulkan, demi menjaga marwah hukum dan keadilan hukum di Indonesia maka terdakwa seharusnya dinyatakan bebas dan direstorasi semua tuntutan terhadapnya serta dipulihkan nama baik, harkat serta martabatnya,”kata Dr Somawijaya sebagai anggota tim anotasi Fakultas Hukum Unpad.

 

IKUTI BERIRA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Penulis: RedEditor: Yusman
  • Bagikan