Suaraindo.id — Kecelakaan kerja tragis kembali mengguncang proyek pembangunan smelter bauksit milik PT Borneo Alumindo Prima (BAP) di Kawasan Industri Ketapang Bangun Sarana (KBS), Desa Pagar Mentimun, Kecamatan Matan Hilir Selatan, pada Minggu (5/10/2025).
Seorang pekerja asal Tiongkok dilaporkan menjadi korban dalam insiden yang terjadi saat aktivitas konstruksi pabrik alumina berlangsung. Peristiwa ini menambah daftar panjang kecelakaan kerja di kawasan industri strategis tersebut yang berada di bawah pengelolaan PT Ketapang Bangun Sarana (KBS).
Kawasan Strategis Nasional, Namun Rentan Insiden
Sebagaimana diketahui, Kawasan Industri Ketapang (KIK) berlokasi di Kecamatan Matan Hilir Selatan dan Kecamatan Kendawangan. Kawasan ini merupakan salah satu proyek “quick win” Kementerian Perindustrian RI, dengan luas mencapai 1.000,526 hektare, dikelola oleh PT KBS.
Di dalamnya, PT BAP menjadi perusahaan penggerak utama yang menguasai 1.150,327 hektare lahan untuk pembangunan pabrik smelter dan pelabuhan khusus. Namun, di balik geliat investasi besar tersebut, rentetan kasus kecelakaan kerja terus terjadi, menimbulkan kekhawatiran publik terhadap lemahnya penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Dugaan Pelanggaran: TKA Bekerja Sebagai Pekerja Kasar
Informasi dari sumber lapangan menyebutkan, korban kecelakaan bukanlah tenaga ahli sebagaimana diwajibkan oleh aturan, melainkan pekerja kasar atau tukang las yang bekerja di bawah subkontraktor Mr. Wong, mitra dari PT KIC dan PT Beguntam.
Dugaan ini memicu sorotan tajam, sebab Tenaga Kerja Asing (TKA) hanya diperbolehkan menempati jabatan ahli, bukan pekerjaan manual. Banyak pihak menilai perusahaan di kawasan industri ini abai terhadap regulasi dan standar keselamatan kerja.
Saat dikonfirmasi, Budi Mateus, Humas PT KBS yang juga mewakili PT BAP, menunjukkan sikap tidak kooperatif dan bahkan emosional ketika dimintai keterangan oleh wartawan terkait insiden tersebut. Sikap ini dinilai publik sebagai bentuk arogansi dan minim empati terhadap korban dan keluarganya.
Aturan Tegas: TKA Hanya untuk Jabatan Ahli
Pemerintah Indonesia telah mengatur secara tegas bahwa TKA tidak boleh menempati jabatan sebagai pekerja kasar. Ketentuan ini diatur dalam:
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja);
PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing; serta Permenaker Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penggunaan TKA.
Menurut Pasal 4 PP 34/2021, TKA hanya boleh menduduki jabatan tertentu dan untuk waktu tertentu, tidak termasuk pekerjaan kasar seperti tukang, operator alat berat, sopir, atau buruh pabrik.
Larangan ini dipertegas dalam Kepmenaker Nomor 349 Tahun 2019 yang menyatakan seluruh pekerjaan manual wajib diisi oleh tenaga kerja Indonesia.
Selain itu, perusahaan pengguna TKA wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disetujui oleh Kementerian Ketenagakerjaan, serta berkewajiban melakukan transfer of knowledge kepada pekerja lokal.
Pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat berakibat sanksi administratif hingga pidana, termasuk denda maksimal Rp500 juta, pencabutan izin RPTKA, dan deportasi bagi TKA yang melanggar.
Desakan dari Aktivis dan Masyarakat
Insiden ini menuai kecaman keras dari kalangan pekerja dan masyarakat Ketapang. Mereka menilai lemahnya pengawasan pemerintah dan perusahaan terhadap praktik ketenagakerjaan di kawasan industri besar tersebut.
“Kami menduga banyak TKA di kawasan ini bekerja bukan sebagai ahli, tapi justru sebagai buruh kasar. Ini jelas melanggar aturan dan merugikan pekerja lokal,” ujar Rudi Hartono, Koordinator Serikat Buruh Mandiri Ketapang (SBMK), saat ditemui usai meninjau lokasi.
Tono juga menyoroti aspek K3 yang dianggap diabaikan oleh kontraktor dan pengelola kawasan industri.
“Kecelakaan demi kecelakaan terus terjadi, tapi tidak ada langkah transparan dari perusahaan. Pemerintah harus turun tangan, jangan hanya diam menunggu laporan,” tegasnya.
Hal senada disampaikan tokoh masyarakat Matan Hilir Selatan.
“Kami prihatin dan marah. Korban adalah manusia, bukan angka di laporan proyek. Jangan sampai Ketapang hanya jadi tempat uji coba industri yang mengorbankan keselamatan pekerja,” ungkapnya.
Dorongan Penegakan Hukum dan Transparansi
Masyarakat dan aktivis kini mendesak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, serta aparat pengawas ketenagakerjaan, untuk segera melakukan investigasi menyeluruh, memastikan hak korban terpenuhi, dan menindak tegas perusahaan yang melanggar aturan.
Kecelakaan berulang di kawasan industri PT BAP dan KBS diharapkan menjadi peringatan keras bagi seluruh pelaku industri di Ketapang bahwa keselamatan kerja bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga tanggung jawab moral dan kemanusiaan.