Oleh: Karen Anastasia Surbakti
(Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
MENGANGKAT isu yang tidak biasa, film “Gowok: Kamasutra Jawa (2025)” dengan berani mengangkat tema pendidikan seksual yang bernuansa budaya Jawa. Dibintangi oleh Devano Danendra dan Reza Rahardian , film ini bukan hanya tentang drama tetapi juga mengangkat isu sejarah Tiongkok dan Jawa tentang profesi yang hanya digeluti oleh perempuan yaitu Gowok. Secara garis besar, film yang berlatar tahun 1955-an ini bercerita tentang profesi Gowok yang sudah lama ditinggalkan, khususnya pada masyarakat Jawa.

Dilansir dari cuplikan awal film, Gowok merupakan wanita yang direkrut untuk memberi edukasi seksual secara pribadi kepada pemuda yang disunat pada masa pubertas atau kepada mereka yang akan segera menikah. Lebih dari belajar mengenai cara berhubungan seksual, Gowok juga membantu para pemuda untuk memahami tubuh perempuan dan bagaimana cara menjaga keharmonisan rumah tangga. Gowok seringkali direkrut oleh orang tua pemuda agar anak laki-lakinya dapat memberikan kepuasan kepada istrinya kelak.
Sekilas Tentang Film “Gowok: Kamasutra Jawa (2025)”

Kisah ini bermula ketika pasangan priyayi sekaligus orang tua dari Kamanjaya mengantar anaknya ke Bumirejo, Jawa Tengah. Tujuan kedatangan ini adalah untuk menitipkan anaknya belajar mengenai pendidikan seksual bersama Nyai Santi (dalam Bahasa Jawa disebut ‘di-gowok-i’), Gowok tersohor pada masa itu. Meskipun awalnya sempat menolak, ada satu gejolak yang dialami Kamanjaya ketika melihat Ratri, anak angkat sekaligus yang nantinya akan menjadi penerus Nyai Santi.
Waktu yang seharusnya untuk digunakan untuk belajar mengenai pendidikan seksual bersama Nyai Santi malah lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan romansa bersama Ratri. Bukan hanya cinta, harapan agar Ratri dapat menjadi perempuan berdaya yang dapat menentukan mimpinya sendiri juga diajarkan oleh Kamanjaya meskipun hal tersebut terlihat tidak mungkin karena Ratri harus menjadi Gowok selanjutnya yang akan melajang selama hidupnya.
Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Film Gowok: Kamasutra Jawa (2025)

Budaya Indonesia, khususnya Jawa memang seringkali memiliki kaitan yang erat dengan budaya patriarki. Merujuk pada salah satu penelitian dari Universitas Airlangga, patriarki adalah ideologi yang menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi dari perempuan, oleh sebab itu terdapat nilai-nilai maskulinitas yang dianggap sebagai simbol kekuasaan.
Dalam film ini, secara garis besar terlihat bahwa beberapa adegan mencoba untuk mematahkan isu patriarki tersebut. Laki-laki digambarkan melakukan hal yang sama dengan perempuan termasuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Dalam berhubungan seksual, keduanya juga diajarkan untuk saling terpuaskan satu sama lain.

Kamanjaya, lelaki priyayi yang jatuh hati pada Ratri juga digambarkan mendukung penuh agar Ratri dapat menentukan masa depannya sendiri. Ia mendorong Ratri untuk bergabung dengan GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) yang memberdayakan wanita Indonesia pada masa setelah kemerdekaan. Meskipun harus melalui berbagai rintangan, Ratri akhirnya mampu menjadi anggota GERWANI dan secara aktif menyumbang dana untuk membangun sekolah perempuan pada masa itu.

Menelisik lebih dalam, nilai patriarki ternyata dinyatakan secara tersirat dalam film ini. Kehadiran Gowok lah yang justru menjadi cerminan dari patriarki, khususnya dalam Jawa. Profesi Gowok hanya ditekuni oleh perempuan saja. Secara definitif, Gowok (perempuan) memang berperan sebagai pemberi ilmu kepada laki-laki. Ilmu yang diberikan juga dikatakan berguna untuk memuaskan istrinya dalam berhubungan seksual. Namun, dilihat dari kacamata lain, peran perempuan sebagai Gowok nyatanya juga digunakan untuk mempersiapkan laki-laki agar kehidupan berkeluarganya harmonis. Dalam hal ini, perempuan dijadikan ‘objek’ untuk menciptakan “lelaning jagad” atau laki-laki yang tidak tertandingi. Artinya, meskipun Gowok yang merupakan seorang perempuan terlihat sebagai pemberi ilmu, pusat dari tradisi ini tetaplah laki-laki.
Kenyataan pahitnya, profesi Gowok yang digeluti oleh perempuan ini ternyata tidak sepenuhnya dihormati meskipun Gowok yang tersohor sekalipun seperti Nyai Santi. Gowok dipaksa untuk hidup dalam ambiguitas karena mereka dihormati secara diam-diam dan dipandang sebelah mata secara terang-terangan.

Dalam kisah perjalanannya, diceritakan juga bahwa Ratri membalas dendam kepada Kamanjaya lewat Bagas, anaknya, karena kejadian patah hati yang dialami Ratri semasa muda. Hal ini menjadi representasi dari trauma akan tindakan patriarki yang dialaminya dulu. Digambarkan, Ratri ditinggal nikah karena kesalahpahaman yang dibuat dengan sengaja oleh Nyai Santi karena perbedaan kasta antara keduanya. Diceritakan pula bahwa ibu Kamanjaya yang mengetahui kedekatan Ratri dan Kamanjaya menolak hal tersebut karena Ratri merupakan anak dari pekerja seks.
Kehadiran Liyan sebagai Representasi Isu Gender

Liyan, anak angkat Nyai Santi merupakan seorang laki-laki yang digambarkan feminin. Dalam kesehariannya, Liyan menggunakan kebaya dan tampil kemayu. Kehadirannya bukan sebagai pelengkap namun juga untuk menantang konsep maskulinitas, khususnya dalam budaya Jawa. Menariknya, dalam film ini, tidak ada seorang pun yang menghina Liyan selain Bagas, anak laki-laki Kamanjaya yang menyebut dirinya ‘banci’.

Akhir kata, film Gowok: Kamasutra Jawa (2025) perlu diberikan apresiasi karena berani mengangkat tema pendidikan seksual ala budaya Jawa lewat profesi Gowok yang seringkali dianggap tabu. Meskipun beberapa adegan menampilkan kegiatan erotis, film ini dikemas dengan sedemikian rupa agar tidak mengaburkan maknanya. Pengemasan alur cerita yang tidak tertebak, sinematografi yang memanjakan mata hingga makna yang disampaikan dalam film ini membuatnya pantas mendapatkan sorotan.
Daftar Pustaka:
Zakiah, N. (2019). REPRESENTASI IDEOLOGI PATRIARKI DALAM KOMIK STRIP DI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM (STUDI KASUS PADA AKUN INSTAGRAM@ KOMIKKIPLI) (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).













